Title                 : CAFÉ (end)

Cast                 : Choi Seung Hyun (TOP BigBang) Jung Byung Hee (GO MBLAQ) dan Kim Soo Hwa (OC)

Genre              : Romance, Songfic

Length             : Doubleshoots

Rating             : PG-15/straight

Author             : Zantz Zenith

Summary        :

Disclaimer       : All characters aren’t mine except OC. They belong to themselves and I write this fanfiction not for money. So don’t sue me.

Warnings        : This fanfiction has not betaed yet. Sorry for hard diction. Don’t like, don’t read. Please give your comment, critic, or advice to support me. Don’t copy or steal without my permission and take out all credit.

© 2011 Zantz_Zenith. All rights reserved. Distribution of any kind is prohibited without written consent of Zantz_Zenith.

NO SILENT READER!

Happy reading~~

 

Oh my God, even though it’s buried, it still don’t work. The thing that has found me is panic. It bothers me inside my insecure mentality.

Seoul, Korea.

Sebulan yang lalu.

“Hyeong[1]-ya! Tersenyumlah sedikit! Kami hanya ingin memotretmu untuk kenangan, bukannya akan membunuhmu, heh!”

Seungri merutuk kesal saat melihatku terdiam kaku di balik lensanya. Mencoba mengabadikan momen terakhir sebelum keberangkatanku kembali ke Jerman. Jiyong yang sudah memasang gaya terbaiknya, terpaksa menundanya untuk kesekian kali saat wajahku menghiraukan arah lensa kamera. Aku bukannya tidak ingin. Hanya saja aku memang benci untuk difoto.

Aku membencinya.

Kamera. Cafe. Marienplatz.

Namun, tetap saja aku tidak bisa membenci gadis di balik ketiganya.

“Aku telah menikah dengan Byung Hee.“

“Kau tidak bisa melakukan itu.“

“Bagaimana tidak?“

“Karena aku mencintaimu!“

“Kau tak tahu betapa aku dulu menunggumu untuk mengatakan itu. Mianhaeyo, aku sudah menjadi milik seseorang.“

“Sungguh aku ingin menyatakannya padamu. Hanya saja, mengapa dulu kau seperti tak mempedulikanku?“

“Karena kau tak pernah memintaku untuk menjadi milikmu.”

Aku merebut kamera itu dari genggaman Seungri dengan kasar dan menyurukkannya begitu saja di tempat sampah terdekat.

“Mwo! Yak, Hyeong! Apa yang kau lakukan?“ protes Jiyong seketika. Tak rela bila kamera Nikkon berharga puluhan ribu won itu terbuang percuma tanpa pernah memotret apapun. Jiyong hendak menyelamatkan kamera itu, namun sepertinya bau busuk sampah menahannya. “Aissshh…“

Seungri hanya termangu dengan mulut terbuka. Ia tak percaya dengan apa yang aku lakukan. “Hyeong, kau tahu kamera siapa yang kau buang itu? Itu kamera ku!!” serunya.

“Foto akan cepat pudar, namun memori di kepala kita akan selamanya terekam. Kau tak perlu memotret apapun untuk mengenangnya,“ ucapku dingin sambil melangkahkan kaki meninggalkan Jiyong dan Seungri.

“Tapi, kau tak perlu membuang kameraku, Hyeong!!“ rengek Seungri, kemudian ia memohon pada Jiyong agar membelanya. Jiyong hanya meringis bingung menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ku pejamkan mata. Mencoba membutakan diri dengan apapun di sekitar. Ku tulikan telinga. Mencoba mendengarkan isi hati dan pikiranku. Jauh di dalam lubuk hati, sebuah galeri kenanganku bersama Soo Hwa akan tetap abadi meskipun diriku di rundung penuh penyesalan. Entah bagaimana jadinya saat aku kembali ke Munich, sementara kenangan bersama rasa sakit itu terus menggelayutiku. Yang ku tahu, Tuhan tidak diam. Tuhan hanya menunggu. Dan rasa sakit itu akan pudar seiringnya waktu.

~oo0O0oo~

Alone in a room with the lights turned off. I’m an unhappy  artist. Remembering you while drawing you. Our tragic love that has become our only masterpiece. My heart is still a gallery full of you. Outside Seoul without you is a bleak dessert.

Beberapa hari yang lalu.

Munich, Germany.

Sepeninggalan ku kembali dari Seoul, sebuah amplop tebal menungguku. Landlord [2]memberikannya setelah melihatku kembali ke apartemen dengan wajah kuyu seakan aku tak akan hidup beberapa lama lagi. Sebenarnya ia ingin mengajakku ke sebuah café dekat Ring Road dan menemaninya minum sampai mabuk. Namun, aku menolaknya halus dengan jawaban yang setidaknya dapat membuatnya mengerti kondisiku saat ini.

Suhu musim panas tak mampu menghalau hatiku yang terlanjur membeku. Ku biarkan jendela balkon terbuka tanpa perlu menyalakan lampu. Beruntung cahaya temaram dari sang rembulan jatuh terefleksikan ke kamarku dengan sempurna. Seolah cahaya itu cukup membuat kamarku terasa benderang.

Ku periksa siapa pengirim dari amplop coklat tebal itu. Namun, aku tak menemukan satu jejak pun yang mengarah ke pengirim amplop. Setengah kesal aku merobek amplop itu sembarang.

Brukk!

Sebuah benda kotak hitam jatuh membentur lantai marmer yang dilapisi karpet tebal buatan Maroko yang ku beli saat diskon besar-besaran tahun lalu. Aku mengenali dengan cepat benda itu. Sebuah kamera SLR terbaru. Seketika anganku melayang membumbung langit. Menyentuh permukaan lembut awan yang berbaris bak urutan waktu yang bergulir. Kemudian jatuh, ke bumi dalam rinai kepedihan yang tak ayal membuat sudut hatiku kembali berdenyut pilu.

Ada saatnya kita harus mengingat hal-hal yang tak mungkin dapat terlupakan. Namun, ada saatnya pula kita melupakan hal-hal yang terlampau pedih untuk dikenang. Kim Soo Hwa tidaklah memberikanku hal-hal manis untuk dikenang bersama dalam sebuah galeri penuh bulir-bulir cinta. Tidak memberikanku rasa penyesalan yang berlarut-larut untuk terlalu lama di pendam. Dia hanya memberikanku sebuah kesempatan yang nyata. Membuka kembali akal sehat, mata dan hatiku. Tak lain untuk menikmati sederet lembaran baru. Putih. Dan kosong. Menyadarkanku bahwa dunia ini terlampau sempit bila hanya dapat direkam dalam sebuah bidang itu.

Sebuah foto.

Dia memberitahuku…

Keindahan tak hanya perlu diabadikan dan dikenang, namun juga dapat dijadikan pelajaran. Bahwa jika kau tertarik pada sebuah objek yang kau sukai, bidiklah dalam potret kamera. Jangan sampai moment itu kemudian hilang bersama dalam kehampaan. Dan kemudian yang tersisa hanyalah penyesalan tanpa makna.

Sesungguhnya abadi itu hanya sebuah kiasan belaka. Yang ku lakukan hanyalah menjaganya agar seolah selalu terasa tak pernah berakhir sepanjang masa.

Bulir air mataku jatuh perlahan setelah sebelumnya tergenang di pelupuk mata. Sebuah foto terselip di dalam amplop tersebut. Foto itu menampakkan sepasang anak laki-laki yang begitu serupa terekam di dalamnya. Terasa damai dengan senyum polos mereka. Aku terhanyut bersamanya. Ku balikkan foto tersebut dan ku temukan sebaris kalimat

Jung Seung Hee & Jung Byung Hyun

06 September 2007

TWINS

~oo0O0oo~

NOW

When you’re lonely, I’ll always be waiting for you. On the days I want to see you, I’m calling you. With the coffee I made you, and the folded bookmark. Rain that only flows above you white house baby.

Sesuatu itu masih duduk disana. Di kursi yang sama pula. Satu-satunya kursi yang dapat diingat Seung Hyun dengan harapan tak benar-benar melupakannya. Namun, sedetik kemudian raut wajah Seung Hyun berubah muram. Ia kembali memeriksa deretan potret yang berhasil di abadikannya dengan sempurna.

Benar. Tak ada yang berubah dari foto-foto itu.

Hatinya mencelos terbesit sejenak kepedihan. Tak lama hingga Seung Hyun menyadari sesuatu. Dia adalah seseorang yang baru. Hatinya yang terlampau dipenuhi akan bayangan mengenai seseorang perlahan menjadi transparan dan kemudian menghilang. Dan sesuatu yang baru harus mengisinya.

Sesuatu yang baru.

Dengan langkah yang dibuat setenang mungkin, Seung Hyun menghampiri seseorang disana yang tengah menumpuk cocktail alpukat dalam porsi besar. Mulutnya penuh alpukat disana sini, membuat Seung Hyun serasa ingin mencecapnya. Tak jauh dari gadis segelas wine merah merah menemaninya. Tak cocok memang, namun sepertinya dia bahagia sekali saat melahap penuh nafsu potongan alpukat-alpukat itu. Diam-diam Seung Hyun tersenyum geli melihat tingkahnya. Ia tak pernah menemui gadis yang teramat suka makan alpukat kecuali Soo Hwa. Bedanya Soo Hwa sangat menyukai melon. Bahkan dia ingin sekali menamai anaknya nanti Kim Mei Ron[3]!

Seung Hyun mengulum senyum.

Saat posisi dirinya cukup dekat dengan gadis itu, Seung Hyun mengarahkan kameranya. Dan…

Blitzz!

“Eh?”

Gadis itu ternyata merespon dengan cepat. Dia menatap Seung Hyun dengan matanya yang bulat. Sebulat biji kenari. Wajahnya sangat Asia. Asia Tenggara tepatnya. Entahlah, nilai Geografi Seung Hyun hanya cukup baginya untuk lulus. Tak benar-benar menguasai. Seung Hyun mengayunkan kameranya ke arah gadis itu. Ia nampak terpukau sesaat oleh tingkah Seung Hyun yang tiba-tiba memotretnya tanpa izin.

Dihempaskannya tubuh Seung Hyun di sebuah bangku kosong, tepat di depan gadis itu. Dan kembali di arahkannya lensa kamera. Kini berhadapan di depan wajah gadis itu yang sedang terkejut.

Blitzz!

“Yak!! Stop it, Sir! You really disturbing me! It’s impolite to…!”

Blitzz! Blitzz! Blitzz!

“Sir, can you hear me? Please, stop to take a picture…” Gadis itu merebut kamera Seung Hyun dengan paksa dan kasar. “…OF ME!”

Seung Hyun memainkan sepasang alisnya dan memasang wajahnya sepolos mungkin. Seolah perbuatannya tadi tidaklah disengaja. “Why?”

Gadis itu berdecak kesal. “Why?! Aissh, kau itu tak tahu aturan sekali ya.”

“Aku hanya ingin memotret apa yang ingin aku potret.”

“Itu tidak sopan! Aku bukanlah objek untuk di potret.”

“Benarkah? Kau nampak bagus di kameraku.” Seung Hyun merebut kembali kameranya dan memperlihatkan pada gadis itu hasil bidikannya. “Lihat! Kau tidak nampak sepertiku. Matamu bulat dan lebar, seperti biji kenari. Caramu memakan alpukat itu membuat siapapun merasakan nikmatnya. Pipimu yang menggelembung di kedua sisi sangat menggemaskan. Bagaimana aku tidak tertarik untuk memotretmu?”

“Kau aneh sekali!” sungut gadis itu yang sudah ingin meninggalkan fresco cafe. Aku segera menahan lengannya cepat.

“Siapa namamu? Dan dari mana asalmu?” tanyaku langsung.

“Untuk apa kau menanyakan itu? Biarkan aku pergi! Aku sedang tidak ingin berteman dengan siapapun.”

“Aku Choi. Choi Seung Hyun,” ujarku cepat tanpa melepaskannya. “Jika kau memang tak ingin berteman dengan siapapun, biarkan aku mengenalmu.”

Seung Hyun memberikan gadis itu sebuah tatapan mata yang sungguh dan tulus. Setulus hatinya agar mampu membuka diri untuk orang lain. Gadis itu memperhatikannya sesaat, mencoba menilai tatapan manik mata coklat itu. “Aku Wiedainty dari Indonesia. Kau tahu itu dimana, Sir?”

“Umm, tidak. Apa itu di Alaska?” tanyanya bodoh.

“Bukan. Itu bagian dari negera Belgia.”

“Benarkah?”

“Tentu saja itu tidak benar!” sungut Wiedainty kesal. “Ku sarankan kau ambil kuliah jurusan Geografi terlebih dahulu sebelum berkenalan denganku. Kau setuju?”

“Eh?”

“Baiklah, aku anggap itu sebuah kesepakatan. Selamat, kau sukses besar mengganggu kudapan malamku!” ejek Wiedainty masih kesal.

Seung Hyun tak mampu lagi menahan tawanya yang hampir meledak. Dan ia pun terbahak seketika. Beberapa orang melihatnya tertawa. Tak pernah ia rasakan tawa yang sedemikian bebasnya. Seung Hyun merasa dirinya kembali hidup saat itu juga. Kepedihan yang ia rasakan sontak menghilang, tergantikan oleh sosok Wiedainty. Gadis yang ia kira dari Alaska itu.

Wiedainty melirik Seung Hyun dengan pandangan sebal, kemudian ia melangkah menjauhi fresco cafe setelah menyelipkan lembaran Euro dekat gelas cocktail. Ia terus berjalan tanpa menoleh ke belakang lagi. Tidak hanya untuk melirik Seung Hyun yang masih tertawa geli. Ia lantas menghampiri sebuah Ferrari yang terparkir tak jauh dari cafe itu dan tenggelam ke dalamnya. Pergi dengan deru booster mobil yang nyaring, tertelan dalam keramaian di Kaufingerstrasse malam ini.

Nada-nada lantunan musik jazz dari piano melingkupi aura yang ditebarkan ke penjuru ruang hati. Dalam kesendirian yang mendominasi di sebuah cafe Italia bergaya fresco tepat di tepi jalan Kaufingerstrasse, Seung Hyun mematut pikir dalam emosi. Pikirannya melayang menembus nalar. Matanya berkecamuk liar mencari sosok Wiedainty yang terlebih dahulu menghilang. Di kulumnya senyum itu lagi. Dan ia biarkan dirinya terlarut dalam romansa itu sendiri.

Kamera itu tepat sama. Begitu juga dengan cafe terkenang bersama. Namun, Seung Hyun menyadari sesuatu yang lain dari pada biasanya.

Siapa bilang takdir tak pernah bisa diubah?

Dan cafe ini akan menjadi sang pengamat bisu dari segala percikan cinta.

TAMAT


[1] Sebutan “kakak” dari adik laki-laki kepada lelaki yang lebih tua darinya dalam bahasa Korea

[2] Induk semang

[3] melon