Semi poetry, Alternative Universe, Romance

Nona Matahari Kala Hujan © blackfreesia

[Prolog]

Nona, kenapa kau merenggut kala matahari merangkul dunia dengan sinar hangat?
Nona, kenapa kau merenggut kala langit menampakkan birunya dan awan membiarkan biru terlihat di sela-sela putih?

Kau selalu mendongak ke atas, memperhatikan gumpalan-gumpulan awan dan birunya langit, dan kau merenggut seolah baru saja melihat suatu pertunjukkan yang jelek. Detik kemudian terdengar permohonan untuk matahari bersembunyi, dan awan berubah menjadi kelabu.

Padahal orang-orang di sekitarmu tersenyum dan bergembira cuaca begitu cerah dan berharap hujan tidak akan menganggu cuaca yang sempurna. Tapi, kau lain… kau selalu kesal ketika melihat cuaca cerah dimana matahari terlihat menyilaukan. Seolah itu adalah cuaca terburuk. Seolah, hari yang cerah adalah suatu yang tidak menyenangkan di matamu, dan kau menginginkan hari yang cerah itu lenyap.

Selalu, di sela-sela pelajaran saat dosen menjelaskan, kau melirik ke arah jendela, mendongak ke atas memperhatikan langit biru dengan kumpulan awan yang menghiasi langit dan lagi-lagi kau merenggut.

“Semoga, hari ini hujan,” gumammu mengucapkan kalimat permohonan yang selalu kau ucapkan yang selalu bisa kudengar walau kau bergumam.

Nona, apa kau membenci hari cerah?
Kenapa nona membenci hari cerah, padahal nona adalah matahari?


Nona, kenapa kau tersenyum senang saat awan-awan berwarna kelabu menggantung di langit?
Nona, kenapa kau tersenyum senang saat petir menggelegar seolah itu adalah alunan musik yang indah?
Nona, kenapa kau tersenyum senang saat matahari sinarnya meredup dan tertutupi oleh kumpulan awan kelabu?
Nona, kenapa senyumanmu semakin melebar kala hujan turun menghantam kota?

Semenjak tadi gemuruh petir terdengar dan bunyinya memekakkan telinga, tapi kau malah tersenyum menikmati ‘musik’ yang disuguhkan alam. Sementara yang lain mendecak kesal, dan mengumpat ketika tahu cepat atau lambat hujan akan turun. Kau mengamati kumpulan awan kelabu yang menggantung tenang di langit.

Mereka menunggu waktu yang tepat untuk meluruhkan air yang ditampungnya. Kau tersenyum senang kumpulan awan kelabu itu menutupi biru langit dan meredupkan sinar matahari yang tadi terasa menyilaukan mata.

Para murid lain mulai berkoar-koar tentang betapa menyebalkannya hujan. Hujan yang akan membuat mereka tertahan lebih lama di sekolah dan harus menunggu hujan mereda yang entah akan berapa lama. Dan kau melotot ke arah mereka khususnya mereka yang mengatakan hujan itu menyebalkan. Setelah ditegur mereka kembali memfokuskan perhatian mereka kepada pelajaran, bukan pada hujan yang tidak membutuhkan waktu lama untuk meluruhkan tiap bulirnya.
Kau melengkungkan bibirmu, membentuk senyum manis yang kau tujukan pada kumpulan awan kelabu di langit.

Nona, apakah kau menyukai kala hujan turun membasahi kota?
Kenapa nona menyukai hujan, padahal nona adalah matahari?


Nona, kenapa kau segera menghambur keluar kala hujan mengguyur kota?
Nona, kenapa kau menari di tengah hujan yang menghantam tubuh mungilmu?
Nona, kenapa kau terus menari di tengah hujan, tidak memperdulikan jikalau esok kau terbaring lemah?

Kelas telah bubar, tapi mahasiswa lain terpaksa tertahan di kampus karena hujan deras yang mengguyur kota. Dalam hal ini mahasiswa yang memakai mobil sangat beruntung karena tubuh mereka terlindung oleh atap mobil, karena hujan hanya akan memukul-mukul atap mobil mereka. Sementara para mahasiswa yang membawa motor harus menunggu hujan hingga reda, walaupun helm melindungi kepala dari hujan tapi tidak untuk tubuh mereka, yang mana jika memaksakan diri, sesampainya mereka di rumah sekujur tubuh mereka basah oleh hujan dan kemudian flu menghampiri mereka.

Sementara yang lain menunggu dengan kesal, kau malah membuka payung ungu muda milikmu menerobos hujan, dan berlari keluar kampus. Dan di balik kaca mobil yang basah oleh tetesan hujan aku bisa melihat kau berbelok ke arah gang yang sempit dan sepi. Dan di sana kau merentangkan tanganmu menikmati tiap butiran hujan yang menghantam tubuh mungilmu, kemudian kau menari, berputar-putar layaknya penari balet, di tengah hujan yang demikian deras. Kau begitu menikmati dan menyukai tetesan air hujan yang jatuh menghantam aspal jalanan. Aku tahu kau menganggap hujan yang jatuh ke bumi adalah hal yang luar biasa, seolah tetesan hujan itu adalah berlian-berlian kecil yang jatuh dari langit.

Lamat-lamat sebuah senyuman kau sunggingkan. Bibirmu bergerak, dan aku dapat membaca gerak bibir itu.

“Aku suka hujan.”

Melihatmu yang menari-nari di tengah guyuran hujan deras kemudian tersenyum cerah, seolah melihat matahari yang bersinar terik di tengah hujan deras. Lamat-lamat kurasakan sudut bibirku terangkat ke atas, menampilkan sebuah senyuman.

Oh, Kim Taeyeon, sang nona matahari kala hujan, aku begitu menyukai dirimu yang mencintai hujan.

Kau nona matahari yang menari di tengah hujan
Kau adalah nona matahari yang tetap bersinar walau hujan datang mengguyur kota
Kota adalah nona matahari yang membenci hari cerah
Kau adalah nona matahari yang menyukai hujan
Kau adalah nona matahari kala hujan

Oh, nona matahari tahukah kau, betapa aku menyukai senyumanmu yang kau tujukan pada hujan?
Oh, nona matahari… tahukah kau, betapa aku menyukai sosokmu yang menari di tengah hujan?

To Be Continued