Title : White Lie

Length : Series

Summary : Its about Love, Friendship and Sistership.

Note : Its real my FF dont Copy Paste! Dont Re-Post! dan pernah di post di blog pribadi aku. >>>> My Blog<<<< and PLEASE Read, Comment,Like. Jika banyak Sider aku gak akan post lanjutannya. Thanks.

Prolog

 Bolehkah menghukum seseorang atas nama cinta?

Bolehkah berharap bahwa cinta itu akan datang tanpa suatu balasan?

Dan… bolehkah jika cinta itu di paksakan?

Karena bagiku, cinta sama saja dengan sebuah kebohongan….

 

Angin berhembus kencang di sekitar seorang gadis yang tengah duduk termangu sambil menatap hamparan ombak yang bergulung menabrak karang. Rambut ikalnya yang berwarna coklat berayun lembut berirama. Jari-jarinya yang mungil meremas pasir yang bertabur di sekitarnya, merasakan sensasi lembut dari pasir tersebut. Ia menghela nafas, lalu mengalihkan tatapannya ke langit senja yang mulai tampak. Ada rasa sakit yang menyusup secara perlahan—meninggalkan satu-satunya luka yang tak pernah hilang.

“Berapa lama dirimu akan bertahan?” gadis itu bertanya seorang diri. Seolah ada seseorang yang menemaninya menatap hamparan langit senja yang berwarna merah keemasan.

“Kau tahu, aku lelah.”

Ia menyingkap helaian rambutnya ke belakang telinga. Anting-anting berwarna perak berayun indah seiring dengan gerakan tubuhnya.

Lagi. Gadis itu menghela nafas panjang. Mengeluarkan segala emosi yang selalu di simpannya.

“Maukah kau menerima kata maaf dariku?” ia bertanya lagi, kali ini air matanya mengalir seperti anak sungai.

 “Karena… satu-satunya kata sederhana yang paling bermakna, adalah kata maaf.”

 

 Satu

Mengapa kau menangis hanya karena satu cinta yang belum tentu membekas seumur hidupmu?

Hye Ri meniup helaian rambut yang jatuh menutupi dahinya. Di tangan kirinya berayun pelan keranjang tas yang berisi penuh dengan buku-buku tebal berbahasa Inggris. Dengan teliti matanya menelusuri deretan buku yang terpajang rapi di rak-rak buku. Belum di temukan. Buku yang ia cari lagi-lagi tidak ia temukan di toko buku. Sudah hampir dua jam ia mengelilingi toko buku di kawasan Myeong-dong ini dan hanya buku-buku yang sebenarnya tak begitu ia perlukan mengisi penuh tas belanjanya.

“Tidak ada, Kyoungie-ah[1].” Rutuk Hye Ri langsung saat mengangkat telepon dari seseorang.

“Astaga, aku bahkan sudah mengelilingi toko buku ini dua kali. Apa? Tidak. Kakiku sudah cukup lelah jika harus pergi ke Apgujeong. Oh, ayolah.” Hye Ri memutar bola matanya kesal. “Baik. Baik. Jangan sampai tidak ada makanan ketika aku tiba di rumah.”

Hye Ri menutup handphone flip miliknya dan memasukkannya langsung ke dalam tas selempangnya sambil menggerutu kesal.

“Dia itu, kenapa berbeda sekali denganku sih?” gerutunya lalu berjalan ke arah kasir dan menenteng tas belanjaannya dengan susah payah. Ingin sekali rasanya ia bisa terbang dan menuju kasir secepat mungkin. Namun ia langsung menggeleng cepat, menghilangkan pola pikirnya yang tiba-tiba menjadi serba instan.

Antrian di depan kasir tidak terlalu panjang dan Hye Ri bersyukur karena ia tak perlu berlama-lama berdiri di antrian. Tepat di depannya berdiri seorang pria dengan postur tinggi memakai pakaian serba hitam dan juga topi hitam yang menutupi kepalanya. Sisa rambut coklatnya yang mencuat dari balik topi membuat Hye Ri bisa menebak warna rambut pria itu. Coklat terang, sama persis dengan warna bola mata miliknya.

“Hanya ini tuan?” tanya kasir itu pada pria yang berdiri di depan Hye Ri. Pria itu mengangguk kecil dan menoleh dengan takut-takut ke arah Hye Ri.

Dahi Hye Ri mengernyit karena tatapan pria itu terasa aneh, seolah-olah dirinya akan menerkam pria itu.

“Totalnya, sepuluh ribu won[2].”

Pria berpakaian hitam tersebut merogoh sakunya berkali-kali dan Hye Ri tambah bingung saat mendengar desahan kesal keluar dari pria itu. Sepertinya cukup kesal karena dari sisi Hye Ri berdiri ia bisa mendengar pria itu mengumpat kecil.

“Ehm, tuan maaf. Bisa cepat sedikit?” tanya Hye Ri kaku. Menepuk pelan bahu pria itu. Tangan Hye Ri sudah cukup pegal menenteng buku-buku tebal yang mengisi tas belanjaannya.

“Maaf. Tunggu sebentar.” Jawab pria itu dengan suara berat yang di buat-buat.

Hye Ri diam dan memaksa otaknya berpikir cepat, ia baru saja ingin beranjak ke kasir sebelahnya namun beberapa pengunjung yang lain sudah berpindah terlebih dahulu. Membuat antrian di sebelahnya jauh lebih panjang daripada sebelumnya. Kini, tinggal Hye Ri dan pria itu yang mengantri di kasir ini.

“Nona, bisa layani aku dulu?” tanya Hye Ri cepat dan tak sengaja menyenggol tubuh pria itu sampai terhuyung.

“Yak, apa kau tidak bisa menunggu sebentar?” tukas pria itu kesal. Suara tenornya terdengar tidak asing di telinga Hye Ri.

“Aku sudah cukup sabar menunggu antrian ini sejak tadi.” Balas Hye Ri tak mau mengalah. Ia meletakkan tas belanjaannya di meja kasir dengan keras membuat penjaganya terlonjak kaget.

“Tolong hitung. Cepat.” Kata Hye Ri lagi dengan nada penuh perintah. Sesaat dia merasa dirinya seperti orang lain dalam sekejap. Ia tak pernah sekasar ini, setidaknya tidak dengan orang lain. Namun entah mengapa kali ini ia tak bisa mengendalikan emosinya dengan baik.

“Kutu buku.”

Kepala Hye Ri menoleh dengan cepat. Barusan dia mendengar dengan jelas pria aneh itu—menurut Hye Ri—mengumpat padanya. Mata Hye Ri mendelik marah lalu berkacak pinggang. Entah mengapa dia merasa hari ini adalah hari buruk sepanjang hidupnya.

“Dengar ya Tuan. Bukan urusanmu aku kutu buku atau bukan. Jadi jangan pernah mengumpatku tentang hal itu.” Kata Hye Ri marah. Dagunya terangkat ke atas, memandang dengan tajam laki-laki itu.

“Namaku bukan Tuan.”

“Oh ya.” Hye Ri mencibir. “Aku tak peduli siapa namamu, tapi aku tidak suka kau mengataiku.”

Pria itu kini tertawa dari balik maskernya. Sesaat pikiran Hye Ri menerawang dan mencurigai pria ini sebagai teroris. Pakaiannya yang serba hitam dan masker yang di gunakannya membuat wajahnya tak begitu terlihat. Hanya sepasang kedua bola mata cerah yang bisa di lihat Hye Ri.

“Kau pikir aku mengataimu? Begitu?” tanya pria itu dan sekalipun Hye Ri tak melihat seluruh wajahnya namun Hye Ri yakin pria itu tersenyum mengejek ke arahnya.

“Barusan aku mendengar kau mengataiku kutu buku.”

“Hahahaha….” Tawa pria itu terdengar renyah di telinga Hye Ri, membuatnya terkesiap dan sekali lagi ia merasa tak asing dengan suara itu.

“Kau tidak lihat ini?” pria itu melepaskan sesuatu dari telinganya dan ternyata sebuah earphone wireless terpasang di sana. “Aku sedang menelepon.” Tambahnya lagi.

“Jadi—“

“Jadi kau salah paham agashi[3] .” potong pria itu cepat. “Yang ku maksud kutu buku itu bukan kau. Melainkan seseorang dan yah ku akui selera membacanya sama persis seperti yang kau beli.” Katanya dan melirik sekilas ke tas belanjaan milik Hye Ri.

Hye Ri tertegun. Kini ia tak tahu harus berkata apa lagi. Wajahnya benar-benar merah sekarang. Ia menyadari telah melakukan kesalahan konyol pada pria tersebut. Menyerobot antriannya dan menuduhnya mengatainya kutu buku. Argh. Apa yang harus di lakukannya? Jerit Hye Ri dalam hati.

“Ma..maafkan aku.” Hye Ri membungkukkan kepalanya berkali-kali sambil mengutuk dirinya sendiri.

“Sudahlah. Itu bukan masalah penting.” Kata pria itu cepat dan memberikan beberapa lembar uang untuk membayar buku yang di belinya. “Jika kau sabar menunggu, hal-hal aneh seperti ini tidak akan terjadi kan?” pria itu mengedipkan mata ke arah Hye Ri dan meninggalkannya yang masih terpaku dengan kebodohannya.

“Ya Tuhan apa yang ku lakukan?” rutuk Hye Ri sambil memukul kepalanya sendiri.

“Nona, apa kau jadi membeli semua buku ini?” tanya penjaga kasir dan Hye Ri mengangguk dengan malas.

Penjaga kasir menghitung semua buku yang Hye Ri beli dan Hye Ri langsung menyerahkan beberapa lembar seratus ribu won untuk membayar semuanya.

“Nona, apa kau tahu siapa pria itu?”

Hye Ri mengernyit dan dengan cepat menggeleng.

“Memangnya aku terlihat seperti mengenalnya?” tanya Hye Ri balik.

“Tentu saja tidak. Tapi sungguh, mungkin hanya nona yang tidak menyadari siapa dia dengan jarak sedekat tadi.”

Hye Ri semakin bingung dengan ucapan penjaga kasir yang masih sangat muda itu. Mungkin umurnya masih sekitar dua puluhan. “Maksudmu?”

“Kau tahu Shim Changmin kan? Penyanyi terkenal itu!” seru penjaga kasir itu dan saat itu juga Hye Ri merasa dirinya jatuh ke dalam sumur yang sangat gelap.

Pantas saja aku tak merasa asing dengan suaranya. Ya Tuhan, aku ini maximum!

***

“Lama sekali.” Hye Ri baru saja tiba di apartemen miliknya setelah seharian penuh berkeliling ke toko buku yang berada di pusat perbelanjaan terkenal di kota Seoul. Kakinya terasa remuk namun tak begitu dengan hatinya. Ia menarik kata-katanya sendiri tentang hari buruk sepanjang hidupnya. Karena pada nyatanya ia merasa hari ini adalah hari paling menyenangkan bisa bertemu dengan idola yang sudah dia sukai lima tahun terakhir ini.

“Hei, kenapa kau malah senyum-senyum seperti itu?” tanya seorang gadis yang duduk di sebrang Hye Ri. Gadis dengan tubuh semampai dan rambut ikal panjangnya yang tergerai bebas. Dengan balutan kaus berwarna putih serta celana hitam pendek di atas lutut membuat kaki panjangnya terlihat indah.

“Kyoungi-ah, untuk pertama kalinya aku senang kau menyuruhku membelikan buku-buku yang kau pesan.” Kata Hye Ri senang. Kedua tangannya ia tangkupkan di depan dada seolah menahan perasaannya yang sedang meluap.

Aigo [4] ku rasa kau sudah agak gila. Kau kan paling tidak suka jika aku menyuruhmu membelikan sesuatu yang berkaitan dengan buku.” Gadis bernama Ha Kyo itu tersenyum mengejek lalu melemparkan sebuah jus kaleng ke arah Hye Ri dan di tangkap dengan baik.

“Tapi kali ini aku benar-benar senang kau menyuruhku. Kau tahu, aku bertemu dengan orang yang ku suka!” seru Hye Ri senang dan kali ini sukses membuat Ha Kyo tertawa keras. Suaranya menggema ke seluruh penjuru ruangan.

“Ku kira kau menemukan uang seratus juta won. Tapi ternyata— Hahahaha.” Tawa Ha Kyo semakin kencang.

“Tak ada gunanya bercerita padamu. Kau mana tahu soal Kpop? Bahasa koreamu saja masih parah!” ejek Hye Ri kesal karena merasa Ha Kyo tidak mau ikut terbawa euforia kesenangannya.

“Wajarkan. Hampir sepuluh tahun aku tinggal di Jepang dan aku jarang sekali kembali ke Seoul.” Kata Ha Kyo mengelak. “Lagipula apa hubungannya Kpop dengan orang yang kau suka? Orang itu idolamu?” tebak Ha Kyo asal namun mata Hye Ri membulat lebar. Merasa senang karena akhirnya Ha Kyo mengerti.

“Benar! Aku bertemu dengan Shim Changmin tadi di toko buku!”

Kali ini Ha Kyo tersedak. Jus jeruk yang baru saja di teguknya menyembur keluar.

“Yak, apa yang kau lakukan?” tanya Hye Ri panik dan dengan sigap menyodorkan sehelai tisu pada Ha Kyo. “Kau baik-baik saja?”

Ha Kyo mengangguk lalu meletakkan jus kalengnya di atas meja. Ia mengatur nafasnya sendiri dan berdehem-dehem sebentar menghilangkan rasa gatal di kerongkongannya.

“Lalu, bagaimana dia?” tanya Ha Kyo pelan, nyaris berbisik.

“Ah, ya. Sayangnya aku tak menyadari jika itu dia. Dan kau tahu, aku berbicara padanya! Demi apapun yang ada di dunia, aku ingin sekali memutar waktu dan bertemu dia lagi.” Hye Ri bercerita dengan seru dan Ha Kyo meringis kecil. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang harusnya ia lupakan tapi ia terus saja mengingatnya.

“Pasti kau sangat senang sekarang.” Ujar Ha Kyo tersenyum dan Hye Ri mengangguk mantab.

“Aku tak pernah sesenang ini.”

“Yang benar? Kemarin ketika kau mendengar kepulanganku kau juga bilang seperti itu.” Ha Kyo mengejek dan senyuman Hye Ri langsung berubah menjadi datar.

“Kau ini! Tentu saja aku lebih senang melihatmu kembali. Mengingat kau begitu pelit mengunjungiku. Bahkan tahun kemarin kau tidak ke Seoul!” tukas Hye Ri sengit.

“Aku selalu memberimu kabar kan. Lagipula ibu juga tak mengizinkan aku pergi ke sini. Yah, kau tahu kan seburuk apa hubungan ibu dengan ayah? Menyedihkan.” Ha Kyo mengucapkan kata-kata itu begitu mudah namun tidak dengan hatinya. Perasaannya berkecamuk menjadi satu , antara rasa marah, rindu dan tidak terima karena di pisahkan dengan saudara perempuan satu-satunya. Saudara kembarnya.

“Hem, kau benar.” Gumam Hye Ri. “Bagaimana kabar ibu? Apakah dia sehat? Ah, tentu saja sehat. Apalagi jika pundi-pundi uangnya bertambah.” Hye Ri tersenyum kecut. Ibu dan ayah mereka berdua bercerai semenjak sepuluh tahun yang lalu. Saat itu umur mereka baru menginjak sebelas tahun, masih sangat belia untuk mengerti arti dari kata perceraian. Mereka di pisahkan, Ha Kyo ikut dengan ibu dan Hye Ri ikut bersama ayahnya. Namun sekalipun mereka berdua berpisah, hati mereka tetap satu. Satu kesatuan yang mengikat mereka semenjak mereka di putuskan bersama di dalam rahim seorang ibu.

“Jangan mengejeknya seperti itu. Dia masih ibumu.” Nasehat Ha Kyo dan Hye Ri mengangguk. Membuatnya yang lebih tua beberapa menit dari Ha Kyo merasa bodoh dengan perkataannya.

“Terlepas dari itu, benar kau akan melanjutkan S2 mu di sini? Aigo, aku baru menyadari bahwa kau jauh lebih jenius dariku. Aku saja belum lulus. Sedangkan kau, umurmu masih duapuluh satu tahun tapi kau sudah lulus! Yang benar saja! Apa ibu menyogok pihak sekolah untuk meluluskanmu terlebih dahulu?”

Ha Kyo memutar bola matanya dan menatap kembarannya itu dengan tatapan kesal. Mana mungkin ibu menyogok sekolah. Lagipula dia hanya lebih cepat satu tahun dari usia kelulusan yang sesungguhnya.

“Mungkin saat kita berada di rahim ibu, aku menang taruhan darimu. Jadi aku jauh lebih jenius.” Kata Ha Kyo percaya diri dan langsung di sambut dengan lemparan bantal sofa oleh Hye Ri.

“Aku belum tahu akan melanjutkan studiku atau tidak. Mungkin bekerja. Kedengarannya menarik.”

“Jika kau bekerja, kau semakin membuatku merasa tidak berguna.” Hye Ri menghela nafas panjang, memandang langit-langit apartemennya dengan pandangan menerawang.

“Sudahlah. Untuk apa kau pikirkan? Lebih baik pikirkan appa[5] yang tak kunjung selesai dengan tugas kenegaraannya.”

Hye Ri tak menjawab. Malah sekarang bayangan wajah ayahnya mengiang-ngiang dengan jelas di pikirannya. Sudah hampir dua tahun ayahnya bekerja di London sebagai duta besar dari Korea Selatan dan sayangnya Hye Ri tak berniat sedikitpun untuk pindah ke sana. Hanya karena satu alasan tentunya, jarak yang memisahkan dia dengan Ha Kyo semakin jauh.

“Ku rasa dia mendapatkan wanita bule yang cantik di sana. Menghubungiku saja jika ia ingat. Keluarga kita benar-benar menyedihkan.”

Ha Kyo tertawa lagi. Tapi tawa yang di penuhi dengan kepahitan. Ia menyadari satu hal, satu hal yang di milikinya di dunia ini. Hanya Hye Ri.

“Ngomong-ngomong, ibu bilang kau menolak sebuah pertunangan ya?” tanya Hye Ri mengalihkan pembicaraan yang membuatnya sedikit jengah.

“Yah, begitulah. Ck, apa ibu benar-benar tidak bisa menjaga rahasia?” keluh Ha Kyo.

“Sekalipun dia tak ada di sini, dia masih memberitahuku tentang kau. Kenapa kau menolak? Apakah pria Jepang yang di sodorkan ibu sangat jelek?” tanya Hye Ri lagi dan kali ini suasana sudah agak mencair. Bahkan seulas senyum geli terukir dari bibir Ha Kyo.

“Tidak. Dia orang Korea.”

“Benarkah? Bukankah itu jauh lebih bagus, jadi anakmu nanti tak usah bingung dengan masalah kewarganegaraan.”

“Kau ini. Bukan itu masalahnya.” Ha Kyo terdiam sebentar, menarik nafas dan mengumpulkan segenap kekuatannya. “Ibu hanya menyebutkan namanya dan dia menolak memberiku foto pria itu. Ibu bilang dia tampan cuma bukan itu masalahnya.”

“Lalu?” Hye Ri merasa tidak sabar.

“Aku merasa sesuatu yang aneh ketika tahu namanya. Ada rasa takut yang berlebihan.”

“Hanya itu? Astaga, kau itu konyol sekali sih. Kau hanya tahu namanya dan merasa aneh lalu kau menolak begitu saja? Apa ibu protes?” Hye Ri langsung memberondongi pertanyaan pada Ha Kyo.

“Awalnya iya, tapi selang beberapa hari ia bilang terserah padaku. Lagipula ibu juga mengatakan aku pasti akan jatuh cinta padanya tanpa paksaan. Kan aneh sekali.”

“Hem, yah memang cukup aneh sih. Bagaimana bisa jatuh cinta jika kau saja tak pernah bertemu dengannya.” Gumam Hye Ri yang di sertai anggukkan oleh Ha Kyo.

“Siapa nama pria itu?”

‘Namanya—“ Ha Kyo terdiam dan Hye Ri memasang tampang wajah tak sabar. “Aku lupa.”

“Shin Ha Kyo, kau ini benar-benar!!”

***

Changmin menghempaskan tubuhnya ke atas sofa lalu dengan santainya meluruskan kakinya ke atas meja. Hari ini melelahkan baginya. Segudang jadwal yang menumpuk serta hari-hari membosankan yang di penuhi dengan syuting dan pemotretan. Matanya melirik sebentar ke arah plastik berisi buku yang baru saja di belinya. Sebuah novel fantasi yang sangat popular dan bukan tanpa alasan ia membeli novel tersebut.

Ada sebuah misi yang di berikan untuknya. Mengenal seorang gadis yang sama sekali belum ia temui. Namun nyonya Cho—pemilik butik ternama di Jepang berteman baik dengan kedua orang tua Changmin dan dari situlah muncul perjodohan konyol untuknya. Changmin tidak mengenal gadis itu bahkan foto yang di berikan ibunya belum ia lihat sama sekali. Ia hanya merasa tidak perlu. Wajah bukanlah tolak ukur yang ia cari untuk pasangan hidupnya. Ia merasa ingin mengenal, mengetahui bagaimana kepribadian gadis itu dan untuk itulah ia menanyai segalah hal tentang gadis ini pada Nyonya Cho—ibu kandung gadis itu.

“Kau sudah pulang?” Changmin menoleh ke sumber suara dan mendapati Jung Yunho—managernya berdiri di ambang pintu dapur sambil menggenggam  secangkir kopi yang asapnya masih mengepul panas.

“Baru saja Hyung[6]. Sulit sekali berjalan-jalan sendirian sekalipun di toko buku.” Keluh Changmin dan mengambil  sepotong kue yang terhidang di meja.

“Kau kan bisa menyuruhku untuk membeli novel itu. Lagipula, kenapa sih kau ingin sekali mengenal gadis itu?” tanya Yunho penasaran.

“Ingin tahu saja. Nyonya Cho dan Ibu bilang gadis itu sangat menarik. Di luar dari sisi kecantikannya.”

“Memangnya kau sudah melihatnya?” Yunho berjalan ke arah Changmin dan ikut menghempaskan tubuhnya di atas sofa putih itu.

“Belum. Padahal aku memiliki fotonya.” Jawab Changmin sambil terkekeh. Satu lagi potongan kue masuk menjelajahi kerongkongannya.

“Di mana kau simpan? Aku jadi penasaran.”

“Di dalam koperku.” Jawab Changmin cuek. “Tapi ingat hyung, jangan memberitahuku bagaimana wajah gadis itu jika kau melihatnya. Aku, benar-benar ingin mengenalnya.” Kata Changmin dan memberikan penekanan di kata terakhir.

“Tapi sebelumnya, bukankah kau bisa menolak perjodohan itu? Kita hidup di Negara bebas kan?”

Changmin menggeleng. Menyunggingkan senyum khas yang di milikinya. “Mungkin bisa saja. Tapi entah mengapa aku merasa aneh ketika Ibu dari gadis itu menceritakan tentang kepribadiannya. Seperti… yah aku tak bisa menjelaskannya hyung.”

Yunho tertawa kencang. Ia menyesap sedikit kopi yang tadi di bawanya.

“Kau jatuh cinta padanya begitu?”

“Tidak juga. Mana mungkin aku bisa jatuh cinta tanpa melihatnya.”

            Yunho terdiam dan tak menanggapi Changmin. Pikirannya malah sibuk mengandai-andai jika saja wajah gadis itu tidak secantik kepribadian yang di ceritakan Nyonya Cho. Yunho merasa sangsi Changmin akan siap menerima, terlebih lagi ia tahu betul selera Changmin yang cukup tinggi mengenai seorang gadis.

            “Jika dia tak sesuai dengan harapanmu bagaimana?” tanya Yunho memancing.

            Changmin tersenyum, ia menyadari bahwa managernya sedang memancingnya dan berharap memiliki kesempatan untuk mengerjai dia. “Anggap saja sebuah permainan hyung. Pertaruhannya ada dua, menang atau kalah.” Jawab Changmin diplomatis dan Yunho pun tertawa.

            “Baiklah. Jadi, di mana foto gadis itu? Ah ya, di kopermu.” Kata Yunho cepat dan beranjak bangun menuju kamar Changmin. meninggalkan Changmin seorang diri yang kini tengah sibuk menonton acara di salah satu channel TV.

            Yunho membuka kamar pribadi Changmin dan langsung di sambut dengan nuansa serba putih. Dari mulai tempat tidur, lemari serta sofa kecil yang ada di kamar tersebut juga berwarna putih. Hanya warna-warna coklat dan gelap yang menghiasi beberapa sudut kamar.

            Koper milik Changmin berada di sudut kamar—tepat di sebelah meja nakas yang berada di samping tempat tidur. Yunho mengangkatnya lalu menjatuhkannya di atas tempat tidur. Membuka koper itu tanpa susah payah. Mata Yunho langsung tertancap pada sebuah amplop berukuran sedang yang tersimpan rapi di sisi penutup koper. Tanpa ragu Yunho mengambilnya dan membukanya secara perlahan. Sebuah foto seorang gadis yang sedang tersenyum terpampang di sana. Spontan senyum juga terukir di wajah Yunho ketika melihat foto tersebut.

            “Kau mendapatkan jackpot, Shim Changmin.”


[1] Partikel ketika menyebut nama seseorang.

[2] Mata uang Korea Selatan

[3] Nona

[4] Ungkapan keluhan yang biasa di pakai orang korea.

[5] ayah

[6] Kakak laki-laki, digunakan hanya untuk laki-laki