Tittle        :  Deja vu

Author     :  Adiez-chan

Length     : Ficlet (1009 words)

Genre       : Angst, sad

______________________________________

.

Langkah dari sepatu converse merah berpadu hitam untuk ke sekian kalinya berhenti di tengah trotoar pedestrian. Pemiliknya menghembuskan nafas berat untuk ke sekian kalinya seraya dua bola matanya yang bulat menengadah sejenak menantang langit. Singgasana masih terisi dengan surya tepat di puncak kepala, seakan tertawa ketika sinar meliuk di sela pohon yang menjulang, menyengat kulit langsatnya. Dia melanjutkan jalannya cepat, menghindar dari terik, hanya untuk -ke sekian kalinya- berhenti dan membuang nafas penuh beban yang senada.

‘SMS… nggak… SMS… nggak… SMS– Aaarrghh!! ><

For a God’s sake! Haruskah aku melakukannya?’ 

Gadis itu mengacak helaian merah kecoklatan yang terikat tak beraturan, hingga beberapa surainya terlepas dan memburai angin. Dengan gontai kakinya memasuki cafe dan memesan satu cappucinno float. Dia mengambil duduk di samping jendela, menyesap minuman dinginnya seraya menatap kosong jalanan lenggang di sampingnya.

Pernahkah kalian menyayangi seseorang selayaknya saudara kalian sendiri? Dia pernah. Bukan, bukan cinta laiknya dua merpati yang saling mematuk. Tapi sayang, yang menurutnya lebih dalam daripada cinta. Dimana dia benar-benar tulus memikirkan kebahagiaan seseorang dengan orang lain yang pantas. Tak ada cemburu, hanya mengasihi, mendoakan, mendukung dan tersenyum untuk senyum.

Ya, dia pernah.

Sayangnya sama halnya dengan daun yang berguguran ketika tak sanggup bertengger pada ranting, segala sesuatu tak akan pernah abadi, sengaja atau tidak, mau atau tidak. Segalanya akan ada waktunya untuk memasuki sebuah epilog. Termasuk keberadaan sahabatnya.

Bong, begitu dia memanggilnya. Lelaki yang dikenalnya semenjak remaja itu mengenal Rin-nie yang akhirnya menjadi pacarnya sekarang. Gadis yang dengan sekuat tenaga dia wujudkan mimpinya untuk bersama Bong, yang susah payah dibelanya ketika mereka bertengkar, hanya untuk akhirnya balik mencemburuinya. Mencoba memusnahkan eksistensinya. Memaksa sahabatnya memilih antara sahabat atau pacar.

Tindakan bodoh.

Dua tahun yang lalu, dia melepaskan sahabat kentalnya. Atau lebih tepatnya terpaksa melepaskan. Ketika lelaki itu akhirnya menghilang tanpa kabar, dan membuatnya mengerti -beberapa minggu kemudian- lelaki bertekstur tegas yang dikenalnya memilih gadisnya ketimbang dirinya.

Sakit? Tentu saja. Dia bahkan tak mampu menghitung bulir air mata yang mencuranginya ketika memikirkan lelaki itu. Betapa dia ingin mengutuk wanita itu, dan Bong.

Hingga lamat-lamat waktu menyembuhkan sakitnya.

Tangan mungilnya kini meletakkan minumannya di meja dan mengambil ponselnya. Menekan beberapa tombol virtual di layarnya hingga aplikasi kalender memenuhi layar sentuhnya.

Satu bulan.

Ya, kalender itu menunjuk angka yang sama dengan bulan sebelumnya. Segar dalam ingatannya, tepat satu bulan yang lalu lelaki itu tiba-tiba datang di depan rumahnya, menatapnya dengan ekspresi menahan tawa. Bagaimana tidak, gadis itu hanya mengikat helaian ikal sewarna burgundi seadanya, membiarkan ujungnya tetap menjuntai di punggungnya. Berbalutkan kaos tanpa lengan dan celana pendek di atas lutut, dia menatap lelaki itu penuh keterkejutan. Terhenyak, tak percaya.

.

”Kenapa kamu–”

Eun Kyo, bogoshippeo,” ucapan pertamanya kala itu, disertai dengan cengiran lebar khasnya.

”Bong? Kenapa kamu datang ke sini? Pacarmu–”

”Mianhae. Mianhae karena menghilang. Jeongmal mianhae..”

Satu tembakan seakan dengan tepat melesat menuju jantungnya, menyadarkannya seketika. Gadis itu berkata dengan datar seraya hendak menutup pintu rumahnya, ”Tapi kamu sudah terlalu lama, Kwon Ji Yong-ssi.”

Kwon Ji Yong, atau yang biasa dia panggil Bong, dengan cepat menahan gerakannya dengan menarik kenop pintu lainnya. Matanya menatapnya bersalah sekaligus berharap. “Aku tahu, Kyo… Jeongmal mianhae… Apa kita bisa memulai persahabatan ini lagi?”

Kyo membuka kembali pintu rumahnya dan menghela nafas, kehabisan akal.“Bagaimana dengan Rin-nie? Apa dia mengijinkanmu untuk–”

“Nee. Dia mengijinkanku untuk menemuimu.”

“Dan berhubungan lagi?”

Bong terdiam sejenak, ragu sebelum akhirnya dia menjawab, “… Aku akan mencoba menjelaskan perlahan padanya nanti.”

“Kamu yakin?” salah satu alis mata lebatnya naik, tak percaya, hanya untuk dijawab dengan cengiran khas yang sama dari Bong.

“Nee. Jadi, bagaimana?”

.

Tidak perlu waktu lama baginya untuk sekedar mengiyakan. Bahkan setelahnya, mereka bersikap seakan masalah tak pernah terjadi antara mereka. Satu kali makan siang, satu kali jengukan ketika dia sakit dan meninggalkan buah untuknya. Hanya itu. Semuanya seakan kembali pada masa-masa yang lalu. Setiap kepingan kecil kejadian menjadi deja vu yang menyenangkan, yang bahkan sebelumnya tak berani dia impikan.

Setidaknya, hingga pesan singkat itu datang kemarin sore.

From: BongBong

Kyo-yah, I’m sorry… Really Sorry. Rin’s locked my move now. After she knew about I delivering the fruits to you, she unfriended and unfollowed me with you at facebook,  and me2day. :(

.

‘Damnit!’

Ya Tuhan, betapa dia tak habis pikir dengan kerangka otak seorang Lee Chaerin. Itu hanya menjenguk orang yang sakit! Memangnya dia tidak pernah menjenguk orang sakit?!

Bagaimana bisa, seseorang yang lebih tua darinya masih memiliki pola pikir tak lebih dari seukuran anak-anak yang baru saja beranjak remaja? Dewasa memang tak selalu berhubungan dengan usia.

Bagaimana bisa ada manusia dengan sudut pandang yang tak lebih dari sekotak lantai keramik, dan sehitam lumpur, penuh dengan kebencian. Aiissh! Ini sudah bukan kekuasaannya, kepribadian adalah milik masing-masing individu. Namun sungguh, dia mempertanyakan berapa besar otak wanita itu? Jangan-jangan masih sebatas disketyang sudah punah dari peradaban teknologi.

Aiissh! Dia benar-benar tak mengerti!!

To: BongBong

Bong, can you tell me what’s wrong with me, why she hate me too much? Its too hurt. Why me? Instead anyone else, why me? Is 2 years not enough to kill my existence? Not enough to trust your love?
I’m too tired living under judgement. 😥

.

Deja vu. Dia seakan tersedot arus waktu dan mengulangi masa sulit dua tahun yang lalu sekali lagi. Deja vu akan sesuatu yang benar-benar ingin dia hapus dari kotak ingatannya -seandainya memang dia tahu caranya- memiliki kadar perih yang sama dengan menabur garam pada luka yang menganga. Beribu kali lipat dan tak mampu terkompensasi.

Entah, ada rasa sakit yang menghantam walau hanya memikirkannya. Dadanya seakan teremas, tak terelakkan.

Mungkin memang ini jalan bagi mereka? Dimana mereka telah sampai di penghujung bab. Dimana bagian seorang Kwon Ji Yong benar-benar habis dalam kehidupannya.

Eun Kyo membuka pesan baru, dan mulai mengetik dengan cepat. Sesaat kemudian dia menarik nafas hingga klimaks dan mengirim pesan itu seiring dengan helaan nafas beratnya.

Hingga beberapa saat kemudian, matanya masih terpaku. Membaca pesan terkirim ke sekian kalinya. Layarnya tiba-tiba terbasahi oleh air yang meluncur cepat dari matanya. Bodoh sekali, menangisi sesuatu yang sudah terkatakan.

To: Bongbong

Bong, aku pikir lebih baik kita jangan bertemu dulu sampai Rin-nie benar-benar menerima keberadaanku sebagai temanmu. Aku sendiri tak tahu ini butuh berapa lama, tapi kita sudah pernah melewati fase ini sebelumnya. Jadi… kita pasti bisa kan? :)
Yang terpenting, aku tahu Bong sayang padaku, dan begitu juga aku yang sayang Bong. I mean, sebagai sahabat seperti sebelumnya. ^^

See you one day, Bong. Be happy.

.

Ya, dia kini yang membiarkannya pergi. Dia merelakan. Berbeda dengan sebelumnya, kini dia benar-benar merelakan. Selama mereka tahu akan selalu ada rasa mengasihi, itu sudah cukup baginya.

Entah kapan waktu akan memberikan deja vu indah untuknya, di mana Bong akan -sekali lagi- berdiri di balik pagar rumahnya. Mungkin sebulan, setahun, tiga tahun?

Atau mungkin, tak akan pernah.

Eun Kyo beranjak keluar dari cafe dan melihat mendung yang menguasai langit. Senyumnya terulas pahit, dua tahun yang lalu, kepergian Bong juga diantarkan oleh awan yang sama.

Ternyata masih saja, deja vu.