Title : Because Of You… (kayaknya judulnya bakalan nggak nyambung dengan isi cerita)

Genre : Sadness, Angst, Tragedy

Rating : PG-13 / PG-15

Casts : Jung Yonghwa (CN Blue), Seohyun (SNSD), Lee Jungshin (CN Blue)

Disclaimer : Semua casts dan tempat bukan punya saya.

A/N : Annyeong~ Saya kembali. Maaf udah lama nggak posting. Dikarenakan internet rusak dan mendadak sakit. Haddooh…

Ehm. A new fanfiction. Sadness, again. Kali ini saya menggunakan YongSeo couple. Nggak tau kenapa pengen banget bikin ff buat pasangan ini.

Disarankan untuk membaca sambil mendengar lagu After School – Because Of You.

Jangan lupa comment. Happy reading~

***

Yonghwa kembali membuka matanya ketika dirasakannya percikan air hujan mengenai tangannya. Ia duduk termenung di jendela kamar sembari melihat bayangannya di kaca jendela. Yonghwan kembali tersenyum, getir. Pantulan dirinya di kaca benar-benar mencerminkan keadannya saat ini. Menyedihkan, terpuruk dan tersiksa – biarpun itu semua tertutupi oleh wajah tampannya. Senyum getirnya jelas terlihat sebagai pancaran kesedihannya. Dan sekali lagi Yonghwa berpikir – untuk kesekian kalinya – bahwa ia adalah manusia paling bodoh yang pernah ada.

Yonghwa memejamkan matanya dan kembali mengingat hari itu, hari di mana ia bertemu gadis itu. Gadis yang telah mencuri perhatiannya. Gadis yang bahkan membuat Yonghwa ragu dengan perasaannya sendiri.

Seohyun…

Nama itu seakan telah terpatri di otaknya. Yonghwa tidak mengerti hingga saat ini. Entah ia harus merasa senang ataupun menyesal telah mengenalnya. Mengenal gadis pujaannya itu.

Saat itu, Yonghwa benar-benar tidak peduli dengan apa yang dirasakkannya. Biarpun ia berulang kali mencuri pandang ke arahnya, ia tetap mengabaikan jeritan hatinya yang memaksanya untuk mengenal gadis itu lebih jauh. Hingga akhirnya gadis itu yang memulai lebih dulu.

“Permisi. Uhm… Bolehkah aku berkenalan denganmu? Namaku Seo Joohyun.”

“Ah, ya. Aku Jung Yonghwa, kau bisa memanggilku Yonghwa saja, Joohyun-ssi.”

“Kalau begitu, kau juga cukup memanggilku Seohyun, Yonghwa. Salam kenal.” Gadis itu tersenyum.

Meskipun saat itu ekpsresinya biasa dan datar, tapi hati Yonghwa bukanlah hati yang keras dan dingin yang tak bisa merasakan apapun. Yonghwa harus mengakuinya, bahwa di dalam hatinya; ia merasa sangat bahagia.

Yonghwa tidak akan pernah lupa bagaimana rupa senyum tulus yang dipancarkan oleh Seohyun. Dan ia tak akan pernah melupakan betapa jantungnya selalu berdetak kencang saat melihat senyum itu, senyum yang selalu disukainya hingga kapanpun. Serta senyum yang saat ini sangat dirindukannya.

“Seohyun, ayo, tersenyumlah~”

“Eh, kenapa, Yonghwa? Kau baik-baik saja, bukan? Apa kau sakit?”

“Memangnya aku tidak boleh memintamu untuk tersenyum? Tidak, Seohyun. Aku hanya senang melihat senyummu itu. Dan jika aku sedih, hanya senyumanmu yang dapat menghiburku, Seohyun~!”

“Ah, kau gombal!” tetapi Seohyun tetap tersenyum untuk pemuda dihapannya itu.

Hari-hari Yonghwa terlewati dengan penuh kebahagiaan bersama Seohyun. Dan selama itu pula, ia berulang kali mengelak pada orang-orang di sekelilingnya yang mencoba meyakinkannya bahwa ia telah jatuh cinta pada gadis itu. Dapat dipastikan bahwa bibirnya tak pernah lelah untuk mengatakan ‘tidak’ pada setiap orang yang mencoba mengatakan padanya bahwa ia telah jatuh cinta pada Seohyun.

Banyak temannya yang telah memergokinya berkomunikasi saat pagi hari, siang, maupun larut malam dengan Seohyun. Dan Yonghwa selalu berkata “Apa salahnya jika kami berkomunikasi? Kami berkomunikasi sebagai teman, tidak lebih.”

Dan sering kali pula, kakak laki-lakinya melihatnya sedang memandangi foto gadis itu melalui ponselnya. “Aku bukannya sedang memandangi fotonya, kebetulan saja aku sedang membuka galeri fotoku di ponsel dan Noona melihatku saat sedang membuka foto Seohyun.” Hal itulah yang berulang kali Yonghwa katakan pada kakaknya.

Tetapi, Yonghwa-pun ragu dengan pendiriannya selama ini untuk berkata tidak pada setiap orang.

“Yonghwa! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau membuang begitu saja surat-surat dari penggemarmu?”

“Kau tahu? Kau harus belajar menghargai jerih payah orang lain.”

“Jika kau ingin orang lain menghargaimu, maka hargailah dulu orang lain itu.”

Setiap nasihat Seohyun selalu berputar-putar di otak Yonghwa. Dari gadis itulah Yonghwa mulai belajar menghargai setiap orang, setiap makhluk hidup. Karena gadis itu jugalah, Yonghwa menjadi sangat menghormati kakaknya – itu membuat kakaknya terheran-heran – yang sebelumnya sering kali Yonghwa bersikap seenaknya pada kakaknya itu.

Yonghwa sendiripun tidak mengerti mengapa gadis itu dapat mengubah hidupnya hingga seperti ini. Dan lagi-lagi Yonghwa kembali mengatakan ‘tidak’ ketika orang lain memberitahunya bahwa Seohyun telah mengisi pikiran Yonghwa dan secara tidak langsung mengubah hidupnya.

Yonghwa percaya dengan adanya cinta, ia selalu percaya itu. Sudah banyak gadis yang menyatakan cinta padanya, dan ia menerimanya, lalu memutuskannya lagi. Hal itu selalu terjadi berulang kali. Tetapi, lain halnya dengan Seohyun. Ia tak pernah merasa sangat serius dan bahagia ketika mendengar pernyataan cinta dari seorang gadis, tidak selain Seohyun.

“Aku tahu tidak seharusnya aku berkata seperti ini. Tapi, setidaknya aku telah mengatakannya padamu. Aku tak peduli apapun jawabanmu nanti, tapi dengarkan aku… Yonghwa, aku merasa sangat bahagia dapat mengenalmu. Mengenal dirimu hingga sangat dekat. Sampai kapanpun aku tidak akan menyesali segala yang terjadi antara kau dan aku, apapun itu. Ah, aku tidak berharap banyak pada jawabanmu, asal kau merasa senang aku juga akan merasa senang, Yonghwa.”

Yonghwa tidak pernah merasa sebahagia itu sebelumnya. Tidak dengan seluruh gadis yang pernah menyatakan cinta padanya. Dan saat itu Yonghwa mulai yakin dengan perasaannya. Ia mulai yakin atas keraguan yang selama ini menyelimutinya.

Yonghwa telah jatuh cinta pada Seohyun.

Yonghwa kembali membuka matanya ketika dirasakannya percikan air hujan mengenai tangannya. Ia duduk termenung di jendela kamar sembari melihat bayangannya di kaca jendela. Yonghwa kembali tersenyum, getir. Ia menahan air mata yang terasa akan meluncur keluar dari matanya. Dilihatnya keadaan langit di luar, mendung. Awan hitam menutupi langit. Ah, hitam. Yonghwa mulai membenci warna hitam. Karena warna itu adalah warna pengiring kepergian gadis pengisi hatinya untuk selama-lamanya. Warna yang ia kenakan untuk mengantar Seohyun ke peristirahatan terakhirnya.

Yonghwa benar-benar menahan tangisnya saat ini. Ia tidak ingin menangis, karena ia telah berjanji pada Seohyun untuk tidak menangisinya. Tetapi, apakah janji itu dapat dengan mudah untuk ditepati?

“Ah, Yonghwa… Maukah kau berjanji padaku?”

“Setiap makhluk hidup pasti akan mengalami kematian. Dan aku tahu, suatu hari nanti aku pasti akan mati, cepat atau lambat. Jadi, kumohon jangan menangis jika aku telah tiada. Kau bisa menepati janji itu, Yonghwa?”

Yonghwa benar-benar tidak dapat menepati janjinya pada Seohyun. Ia menangis. Menangisi Seohyun. Menangisi kepergian gadis yang telah ia cintai.

“Hyung! Apa kau… Hei! Kenapa kau menangis? Sudahlah!” orang terdekatnya – yang bahkan telah ia anggap sebagai saudaranya – berdiri di hadapannya.

Yonghwa tidak memedulikannya. Ia hanya diam dan menghapus air matanya. Kembali menatap pemandangan di luar yang tetap sama sedari tadi, hujan.

Jungshin menghela nafas pelan. “Baiklah. Jika kau sudah cukup tenang, keluarlah. Kami tidak dapat menikmati apapun jika kau terus-menerus seperti ini, hyung,” ucapnya. Jungshin berjalan keluar sembari melihat Yonghwa dengan waswas. Memastikan pemuda itu tidak akan mencoba bunuh diri.

Setelah Jungshin keluar, entah bagaimana, kelima indra di tubuh Yonghwa mulai berfungsi dengan baik. Yonghwa mulai dapat merasakan dinginnya suhu saat itu. Ia juga mulai merasakan betapa sepinya keadaan di sekelilingnya. Dan suasana itu membuatnya kembali berpikir. Berpikir bahwa ia adalah orang paling idiot yang pernah ada. Ia telah membohongi perasaannya sendiri begitu lama terhadap gadis yang sebenarnya ia cintai sepenuh hati. Yonghwa merasa ia tak pantas hidup sebagai manusia. Karena kebodohannya itu ia harus mau kehilangan Seohyun, gadis yang sesungguhnya sangat ia cintai. Ia kehilangannya bahkan sebelum ia merasakan lebih jauh lagi cinta dan kasih sayang tulus dari Seohyun. Ia kehilangannya saat ia baru saja merasakan apa yang disebut orang-orang dengan cinta sejati. Ia kehilangan Seohyun bahkan sebelum ia sempat mengatakan kata ‘Saranghaeyo’ sekalipun pada Seohyun. Dan ia kehilangan kesempatan itu semua karena kebodohannya sendiri.

Sekali lagi Yonghwa berpikir bahwa ia benar-benar idiot dan tak pantas hidup sebagai manusia.

“Yonghwa! Bagaimana jika nanti kita pergi berjalan-jalan. Kebetulan hujan sudah berhenti. Kau mau?”

“Eh, kenapa tiba-tiba sekali? Ada apa?”

“Tidak apa! Aku hanya ingin menghabiskan banyak waktu denganmu!”

Ah, Yonghwa ingat saat terakhir ia dapat melihat kegembiraan Seohyun. Waktu itu hujan baru saja berhenti, dan matahari mulai menampakkan sosoknya. Sama seperti saat ini. Hujan mulai reda dan keadaan menjadi lebih terang dibandingkan dengan tadi.

Yonghwa tanpa mengatakan apapun berjalan keluar rumah. Ia bahkan mengacuhkan pertanyaan dan seruan teman-temannya. Ia ingin pergi ke tempat itu. Tempat di mana gadis pujannya berada.

Makam Seohyun…

Yonghwa hanya dapat tersenyum sedih. Tidak, ia tidak menangis. Ia tidak ingin Seohyun melihatnya menangis karenanya. Yonghwa hanya dapat memandang pusara Seohyun dengan getir, menggigit bibirnya untuk menahan tangis. Ia menghujani dirinya sendiri dengan berbagai macam hujatan atas kebodohannya sendiri karena ia tidak mau mengakui perasaannya sendiri sejak awal.

Ah, ya. Penyesalan memang selalu datang terakhir. Tetapi Yonghwa benar-benar tidak dapat memaafkan dirinya sendiri. Entah apapun yang telah dilakukannya untuk menebus kesalahannya itu, Yonghwa tetap tidak akan memaafkan kebodohannya. Ia tak bisa memaafkan dirinya karena ia telah dapat menyia-nyiakan orang yang memberinya cinta sejati.

“Yonghwa… Sudah lama aku ingin mengatakan ini padamu… Uhm… Saranghaeyo, Yonghwa,”

Yonghwa tidak dapat mengucapkan kata-kata yang berartikan ‘aku mencintaimu’ itu. Tidak jika orang yang dicintainya telah pergi. Pada siapa ia akan mengatakannya jika Seohyun telah tiada? Siapa yang akan mendengarkan pernyataan itu jika orang yang mencintainya telah pergi? Yonghwa memejamkan matanya dan kembali menghujat dirinya sendiri.

Yonghwa kembali membuka matanya ketika dirasakannya tetesan air hujan yang berasal dari pohon di dekatnya mengenai tangannya. Ia tersenyum, getir. Senyum getirnya itu jelas terlihat sebagai pancaran kesedihannya. Dan sekali lagi Yonghwa berpikir – untuk kesekian kalinya – bahwa ia adalah manusia paling bodoh yang pernah ada.

Yonghwa mulai mengharapkan suatu keajaiban datang padanya dan juga pada Seohyun. Keajaiban yang dapat membuatnya hidup bersama Seohyun kembali. Dan jika itu sungguh-sungguh terjadi, maka Yonghwa akan mencintai Seohyun dari detik pertama kehidupannya hingga detik terakhir dalam hidupnya.

Dan saat ini Yonghwa hanya dapat merelakan kepergian Seohyun. Saat ia menyentuh dadanya, ia tetap merasakan hal yang sama. Sakit.

FIN

Gimana? Baguskah? Yah, seperti biasa. Tolong ditulis pendapatnya di comment. Oke!