KyuG_ckjfhvfbvnbvhf3445_vnfjhvjkfnvmf

Author: Kyu-G
Cast: Lee Sungmin – Han Jinhye
Genre: Romance, Married Life
Length: Oneshoot (4,842 words)
Rating: PG-15
Disclaimer: Ini ff saya yang ke… gatau (=.=) Masih lumayan baru di dunia tulis menulis ff jadi maaf jika cerita, alur, tema, dan castnya kurang memuaskan. Seperti biasa, typo juga masih pengen eksis di ff saya, jadi harap maklum jika kalian menemukannya. Silahkan mengunjungi blog saya jika berminat:sapphirebluever.wordpress.com *promosi* (.___.v)Well, happy reading ^^  

Seorang pria terlihat masih menikmati secangkir kopi dengan koran ditangannya ketika suara pintu apartemen yang terbuka membuatnya berjengit dan cepat-cepat menghampiri seorang gadis berambut sepunggung di depan pintu. Matanya membelalak kaget mendapati istrinya berdiri disana dengan kedua tangan penuh membawa banyak kantong plastik berisi bahan makanan mereka untuk seminggu ke depan. Gadis itu memang pergi begitu saja saat jam di dinding menunjukkan pukul 7 pagi, tidak berniat sedikit pun membangunkan pria tersebut seperti biasanya dan memilih menuliskan memo untuknya, meninggalkan pria itu yang masih tertidur dengan pulasnya sehingga gadis tersebut pergi ke supermarket berjarak 800 meter dari rumahnya menggunakan mobil, menyetirnya sendiri lalu membawa barang-barang belanjaannya lagi-lagi sendirian. Dan ia merasa sangat lelah sekarang.

Pria itu dapat melihat titik-titik air yang membasahi pelipis istrinya, merasa bersalah sekaligus tidak tega sehingga ia bergerak mendekati gadis itu lalu mengulurkan tangannya, menyapukan punggung tangannya di pelipis gadis tersebut untuk menghapus peluhnya akibat kelelahan.

Dengan cekatan pria itu mengambil barang bawaan gadis itu dan menaruhnya diatas meja makan, sedangkan gadis tersebut memilih menjatuhkan dirinya di sofa sembari menghela napas dengan keras. Pria tersebut menyusul gadis itu, duduk disebelahnya dan menggenggam kedua telapak tangan gadis itu yang terasa dingin dan basah di kulitnya. Matanya terarah pada bola mata gadis itu, menatapnya tajam tetapi lembut, benar-benar membuat gadis itu merasa akan meleleh jika saja dia tidak memiliki rangka sebagai penopang tubuhnya.

“Seharusnya kau membangunkanku tadi, jadi aku bisa mengantarmu.”

“Kau baru pulang sekitar jam dua pagi, oppa. Aku tahu kau pasti sangat lelah.”

“Setidaknya jika kau yang membutuhkanku, aku masih bisa mengusahakannya. Kau tidak sendiri lagi, sayang. Tolong ingat hal itu juga.”

Genggaman tangan pria itu terasa semakin erat seolah menunjukkan kekhawatiran yang amat besar.

“Aku tahu. Maaf sudah membuatmu khawatir.”

Tawa ringan meluncur bebas dari bibir pria itu sedangkan sebelah tangannya lagi menarik bahu gadis tersebut mendekat, memeluknya hangat. “Bodoh.”

Pria itu menarik napas pelan sebelum melanjutkan ucapannya, “Lain kali jangan pergi tanpaku lagi.”

“Aku mengerti,” jawab gadis itu sembari melingkarkan kedua lengannya di pinggangnya.

Pria itu masih menikmati aroma yang menguar dari rambut gadis itu dan mengecupi puncak kepalanya sesekali sebelum gadis itu melepaskan pelukannya dengan paksa lalu berlari menuju kamar mandi. Dia dapat melihat telapak tangan gadis itu yang menutupi mulutnya dan hal tersebut berarti buruk.

Semenjak kabar gembira itu mampir di telinga merekaa dan keluarganya maka ketika pagi harinya pula gadis itu akan mengalami kejadian seperti ini. Pria itu menghampiri istrinya, ikut masuk ke dalam kamar mandi dan memijat tengkuk gadis disebelahnya itu dengan pelan. Matanya tertuju pada cermin dihadapan mereka yang menunjukkan wajah pucat gadis yang dicintainya. Gadis itu kini tengah berkumur-kumur dengan air keran lalu tangannya berpegangan pada sudut wastafel, menompangkan bobot tubuhnya pada benda yang berasal dari keramik tersebut.

Pria itu mengusap-usap punggung istrinya, memberi kehangatan sekaligus kenyaman untuk gadis tersebut lalu menggiringnya duduk di tepi ranjang, berniat beristirahat ketika pria itu malah mengajukan pertanyaan yang membuat gadis tersebut terdiam, terlalu takut untuk menjawab.

“Kau sudah sarapan?” tanya pria itu dengan mata disipitkan seolah menginterogasinya. Gelengan pelan gadis itu menjadi suatu jawaban singkat atas pertanyaannya tapi nyaris membuatnya emosi karena lagi-lagi ia melewatkan sarapan paginya begitu saja.

Pria itu menghela napas pelan sedangkan salah satu telapak tangannya terulur ke wajah, mengusapnya pelan. Dia menggenggam jemari gadis itu dan menatapnya dengan lembut. “Kau harus minum obat yang diberikan dokter semalam, itu artinya kau harus makan terlebih dahulu.”

“Aku sudah makan sepotong roti pagi ini,” potong gadis itu, tidak berniat meluangkan waktunya hanya untuk sarapan pagi. Dia selalu saja mual jika sudah mencium aroma beberapa makanan tertentu.

“Kau pikir sepotong roti cukup untuk dua orang? Bayi kita juga butuh asupan gizi yang baik dari ibunya. Kau harus makan, lagi, dan itu berupa nasi atau setidaknya bubur,” cecar pria itu, merasa gusar dengan kelakuan istrinya, padahal jelas-jelas gadis itu tahu bahwa dia sedang membawa nyawa lain dalam rahimnya.

Gadis itu terlalu polos atau bodoh?

“Dan jangan membantahku,” potong pria itu cepat ketika dilihatnya gadis itu membuka mulut dan hendak memberikan protes. Mendengar nada tajam pria itu membuat gadis itu tidak bisa melakukan apapun selain menganggukkan kepalanya.

“Aku mengerti.”

Pria itu menepuk-nepuk puncak kepala gadis tersebut dengan pelan sembari tersenyum senang. Disamping beberapa hal yang membuatnya kesal terhadap bertambahnya kelakuan jahil gadis itu semenjak mengandung, ada pula keuntungan yang ia dapatkan yaitu istrinya berubah menjadi sangat penurut seperti ini. Sepertinya sifat keibuan sudah mulai muncul dalam diri gadis itu. Pria itu berdiri dari duduknya dan dengan wajah berseri-seri serta tangan yang terulur tepat dihadapan istrinya, pria itu berkata dengan semangat, “Kajja. Kita bersiap-siap dan pergi ke dorm.”

Kening gadis itu mengernyit bingung. “Kenapa kita harus kesana?”

“Karena koki terbaik ada di grup kami.”

“Aku tidak mau,” ucap gadis itu lalu melipat tangannya dan menggeleng pelan.

“Wae? Tunggu. Jangan bilang kau mau aku yang memasak.”

Gadis itu menjentikkan jarinya sembari tersenyum senang. Dia bangkit berdiri dan menangkupkan kedua tangannya di pipi pria itu, menatap wajah syoknya dengan mata yang berkilat-kilat geli. “Suamiku pintar sekali. Sekarang ayo kita ke dapur,” ajak gadis itu lalu mengecup pipinya singkat dan menarik pergelangan tangannya dengan keras sehingga pria tersebut hanya bisa mengekor di belakangnya, menurut.

“Sebentar. Kau tidak takut aku akan membubuhkan sesuatu yang kau benci dalam makananmu? Seperti… paprika mungkin,” tantangnya, sengaja menyebutkan menu makanan yang paling menjijikkan menurut gadis itu.

Dia bisa merasakan genggaman gadis itu di pergelangan tangannya yang mengendur dan hal itu nyaris membuatnya tersenyum penuh kemenangan sebelum gadis itu malah menunjukkan seringaian khasnya. Dia tidak suka melihat seringaian itu muncul di bibir tipis istrinya karena hal tersebut bertanda buruk. Baginya.

“Kau tidak mungkin meracuni istri dan calon anakmu sendiri, kan?” ujar gadis itu dengan suara yang dimanis-maniskan, kentara sekali bahwa dia merasa senang karena berhasil mengalahkan pria disebelahnya dalam perdebatan kali ini.

Sial! Sepertinya dia memang harus memasak untuk istri dan calon anaknya. Semoga saja gadis itu tidak mencoba mengerjainya dan meminta yang macam-macam.

 

***

Pria itu memasukkan setengah mangkuk cabe yang telah dipotong-potong ke dalam panci ramen dihadapannya. Dia mematikan kompor setelah kuah ramen tersebut mendidih, menandakan bahwa makanan yang dia buat telah matang. Dia mengambil sarung tangan dan memasukkan ramen itu ke dalam mangkuk besar lalu menghidangkannya di meja makan. Dia tersenyum puas melihat penampilan luar masakannya yang membuat perutnya berbunyi karena kelaparan, bagus sekali. Pria itu membubuhkan daun seledri diatas gumpalan mie ramen tersebut sebagai hiasan terakhir dan memanggil istrinya yang masih asyik membaca setumpuk novelnya di dalam ruang baca.

“Semua pesanan sudah siap, Nyonya,” ujar pria itu sengaja menekankan kata ‘Nyonya’ untuk menyindir istrinya. Tetapi yang disindir sepertinya tidak merasa sama sekali dan dengan santainya gadis itu menutup novel yang ia baca, menaruhnya di meja dan menghampiri Sungmin yang masih setia berdiri di depan pintu.

“Jinjja? Wah, aku mau makan,” ujarnya semangat lalu berlari-lari kecil menuju ruang makan, membuat pria itu harus menarik pergelangan tangannya dengan sedikit keras sehingga membuatnya berhenti melakukan tingkah kekanakkan seperti tadi.

“Makananmu tidak akan menghilang secara tiba-tiba, jadi santai saja. Jangan bertindak konyol dengan berlari-lari seperti itu, sama sekali tidak baik untuk keadaanmu yang sedang hamil muda. Lagipula, kau akan segera menjadi ibu, jadi berhentilah bersikap seolah kau adalah seorang bocah yang masih berumur 5 tahun,” ujarnya serius tetapi gadis itu malah memberikan sebuah jitakan di puncak kepalanya.

“Kenapa memukulku, hah?”

“Itu tanda sayangku padamu,” jawab gadis itu lalu membungkukkan badannya dan menutup mulutnya, mempraktekkan seolah ia sedang mual. Dia menegakkan punggungnya kembali lalu berkacak pinggang sembari menatap pria itu dengan kesal. “Yak! Aku tahu kau mengkhawatirkanku tapi perlu kau ketahui bahwa aku bukan anak kecil lagi.”

“Ck, sudahlah. Ayo, kita makan,” ajak pria itu sembari mendorong pundak istrinya pelan. Emosi tidak baik untuk kesehatan istri dan anaknya jadi dia tidak mau mengambil resiko buruk atas kesehatan kedua orang paling penting dalam hidupnya.

Pria itu menarik kursi makan dan menuntun istrinya agar duduk diatasnya sedangkan dia berjalan mengitari meja, duduk dikursi seberang sehingga mereka berada dalam posisi berhadapan. Ia mengambil sumpit dan memberikannya pada gadis yang sedang menatap semangkuk penuh ramen dihadapannya dengan mata berbinar-binar senang. Dia mengaduk-aduk mie tersebut, menjepitnya dan memasukkannya ke dalam mulut. Gadis itu baru saja akan mengunyah ketika makanan yang menyentuh lidahnya itu terasa membakar seluruh mulutnya sehingga yang dilakukannya adalah mengerucutkan bibirnya dan mengeluarkan napas dari mulut berharap jika panas dari ramen tersebut dapat keluar.

Cepat-cepat pria itu mengadahkan tangannya di depan gadis tersebut, memberi petunjuk dengan matanya agar gadis itu memuntahkan ramen itu diatas telapak tangannya. Gadis itu menurut dan meminum air banyak-banyak setelahnya, sedangkan pria itu beranjak dari duduknya, membuang ramen itu ke dalam tempat sampah dan mengambil tissue, membersihkan tangannya yang terasa sedikit basah lalu kembali duduk di kursinya.

“Sini, biar aku tiup dulu,” ujar pria itu lalu menarik mangkuk ramen dihadapan gadis tersebut, menjepitnya dengan sumpit dan meniupnya beberapa kali. Pria itu menyentuhkan ramen tersebut di atas permukaan bibirnya—mencoba mengukur suhu—dan ketika dirasanya sudah tidak terlalu panas seperti tadi, dia menyodorkan ramen tersebut ke depan mulut istrinya yang langsung dikunyah habis oleh gadis itu, benar-benar melupakan penglihatan dan otaknya yang merekam kejadian menjijikkan beberapa detik lalu. Gadis itu mengunyah ramennya dengan semangat.

“Woah, pedasnya pas sekali.”

“Aku membuatnya sesuai permintaanmu.”

“Bagus. Ah, aku mau lagi,” ucap gadis itu yang terdengar seperti rengekan, lalu membuka mulutnya, meminta suapan kedua dari pria tersebut sehingga membuat pria itu tertawa kecil.

Terang saja, pasalnya gadis itu tidak pernah—nyaris mustahil—bertingkah manja seperti ini karena menurutnya, manja adalah salah satu sifat yang dimiliki seorang gadis kecil dan tidak pantas bersemayam di tubuh seorang wanita dewasa. Sebuah teori yang menurutnya sangat menggelikan. Dia terus menyuapi gadis itu hingga mangkuk ramen tersebut tersisa setengahnya. Keringat gadis itu sudah mengalir di pelipisnya dengan wajah memerah akibat pedasnya cabe dalam mie ramen tersebut. Tangannya terulur untuk membersihkan keringat di dahi gadis itu dengan tissue, yang dibalas sebuah senyuman terimakasih oleh istrinya itu.

Gadis itu meminum jus mangga muda yang disediakan pria tersebut lalu mengangkat kedua bahunya dengan mata yang menutup rapat, menunjukkan bahwa ia merinding merasakan masam yang berasal dari jus tersebut dan mengalir ke sekujur tubuhnya. Tapi, bukannya mengeluarkan teriakan protes, gadis itu malah terkekeh senang, membuat pria dihadapannya menunjukkan raut wajah geli.

“Kau senang sekali, ya?”

“Tentu saja. Kau mau mencobanya?” kata gadis itu sembari menyodorkan gelas berisi jus mangga itu pada seorang pria yang berstatus sebagai suaminya itu.

“Tidak. Rasanya pasti masam sekali.”

“Ini enak,” ucap gadis itu lalu menghabiskan jus tersebut dan menunjukkan reaksi yang sama seperti saat pertama dia meminumnya. Gadis itu mengelus-elus perutnya, merasa puas dan kenyang. Masakan pria itu tidak buruk sebenarnya, hanya saja seringkali gadis itu menghina dan mengatakan bahwa makanan yang dibuatnya sangat amat tidak enak sehingga pria itu merasa tidak terlalu percaya diri untuk menghidangkan masakannya pada istrinya. Tetapi sekarang sepertinya ia harus memberikan pujian, anggap saja sebagai bayaran karena pria itu tidak pernah mengeluh dengan segala tingkah laku buruknya yang bertambah selama ia hamil.

“Masakanmu sudah ada kemajuan, oppa.”

“Tidak usah mengelak. Aku tahu masakanku tidak pernah buruk. Kenapa kau susah sekali mengatakan kebenaran, huh?”

Gadis itu mencibir. “Kau memang suka sekali memuji diri sendiri, hmm?”

Pria itu mengangguk lalu mengambil mangkuk ramen gadis itu dan meminum kuahnya hingga tandas. “Salah satu keahlianku,” jawabnya singkat.

“Sudahlah. Aku ingin menonton,” ujar gadis itu lalu bangkit berdiri. Perutnya benar-benar penuh sekarang dan dia merasa butuh sedikit istirahat.

“Apa hamil memang membuat wanita berubah 360 derajat seperti ini? Kau terlihat lebih manja dan malas.”

Gadis itu terkekeh geli lalu menarik lengan suaminya sehingga pria itu berdiri. “Sepertinya begitu. Ayo, aku ingin melihat drama baru itu, oppa~”

“Astaga, kau persis sekali seperti bibi penjual jjajangmyeon langgananku. Dia juga tidak pernah ketinggalan menonton cerita tak penting seperti itu,” kata pria itu lalu mengacak rambut gadis tersebut dengan gemas.

“Kajja.”

 

***

Gadis itu membetulkan posisi duduknya saat drama kesukaannya telah dimulai. Pandangannya terfokus pada layar televisi dihadapannya sedangkan tangan kanannya sibuk memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya yang terus mengunyah.

 

“Nafsu makanmu meningkat drastis jika sudah menyangkut benda bulat itu. Ah, aku bahkan tidak tahu kalau yang kau makan itu sejenis buah-buahan atau sayuran,” ujar pria yang duduk disebelahnya sembari menggelengkan kepalanya, membuat gadis itu menoleh dan menatap suaminya datar.

 

“Aku sangat menyukai kentang, oppa.”

 

“Kau bahkan sudah makan semangkuk ramen 2 jam yang lalu,” ujar pria itu sembari mengacungkan kedua jarinya di depan wajah gadis itu, membuat gadis itu mengurucutkan bibirnya kesal.

 

“Jangan salahkan aku, anakmu ini ingin makan banyak sepertinya,” ucap gadis itu lalu menunjuk perutnya sehingga pria itu dapat melihat perut istrinya—ditutupi oleh gaun santai lengan pendek selutut yang terlihat kebesaran—nampak sedikit membuncit. Jika dilihat baik-baik, bentuk tubuhnya bahkan sudah tidak terlalu bagus lagi. Tapi entah mengapa, hasrat pria itu untuk menyentuh gadis itu bahkan berkali lipat lebih besar dibandingkan ketika gadis itu belum mengandung anak pertama mereka. Tergiur pada tubuh istri yang tengah mengandung? Sebuah keanehan, tapi itulah yang dia rasakan.

 

Pria itu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa sedangkan jari-jemarinya mengait di pinggang gadis tersebut, memeluknya dari samping dengan kepala yang direbahkan pada bahu istrinya dan merasa tenang ketika aroma kesukaan yang menguar dari tubuh gadis itu masuk ke dalam indera penciumannya. Pria itu menutup kedua matanya dan menarik napas dalam-dalam, menghirup sebanyak mungkin aroma yang amat sangat dia candui lalu menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman saat mendapati tubuhnya malah merasa sangat rileks, seolah rasa lelah yang ia rasakan karena jadwal-jadwal padatnya telah menguap, bergabung bersama udara disekitarnya.

 

Dia membenamkan wajahnya di relung leher gadis itu, membuat tubuh gadis dalam dekapannya menegang, merasa terkejut sekaligus geli—mengingat leher merupakan salah satu bagian tubuh paling sensitif bagi gadis tersebut—sehingga yang dilakukan gadis itu adalah menolehkan kepalanya, menatap puncak kepala suaminya dan dalam waktu sepersekian menit berikutnya, dengan tidak memperdulikan akibat yang ditimbulkan nantinya, gadis itu memukulkan kepalanya tepat diatas tengkorak kepala pria tersebut, menyebabkan suara teriakan kesakitan yang menyusul beberapa detik setelahnya.

 

Pria itu melepaskan kontak tubuh mereka lalu mengelus-elus pelipisnya yang terasa berdenyut. Astaga, gadis itu manusia atau bukan? Kenapa pukulannya sakit sekali? Aish!

 

“Kau berniat membunuh ayah dari anakmu, hah?” tanya pria itu sinis, masih mencoba menghilangkan rasa sakit di pelipisnya karena pukulan maut wanita hamil disebelahnya.

 

“Makanya jangan coba-coba menyentuhku.”

 

“Apa yang salah? Kau istriku.”

 

“Aku sedang hamil, oppa. Kau lupa?”

 

Pria itu menyeringai puas lantas mendekatkan tubuh dan wajahnya pada gadis itu, sehingga gadis itu memundurkan tubuhnya ke belakang. Dia merasa terkurung ketika punggungnya menempel pada lengan sofa sedangkan tubuh pria itu sudah menindihnya. Terperangkap.

 

“Jadi, jika kau sedang tidak hamil, aku bisa menyentuhmu, begitu?” terlihat seringaian khas di bibirnya. Sepertinya pria itu benar-benar menyukai kegiatannya menggoda gadis itu.

 

Pria itu memajukan wajahnya, melanjutkan kegiatan menggoda gadis itu—yang menurutnya sangat menyenangkan—dan berniat mendaratkan sebuah kecupan di bibirnya sebelum gadis itu malah memukulkan botol plastik dari atas meja pada kening pria itu dengan keras, membuatnya berteriak kesakitan dan segera menyingkir dari tubuh gadis tersebut. Dia duduk di sofa sembari memegangi keningnya yang terasa berdenyut sedangkan gadis itu segera bangkit dari posisi berbaringnya lantas masuk ke kamar dan membanting pintunya dengan keras, mengabaikan pria itu yang masih terbungkuk-bungkuk di posisinya, merasakan sakit yang teramat sangat dikepalanya.

 

“Berdarah! Kepalaku berdarah! Omo, bagaimana ini?” suara teriakan pria itu yang terdengar sangat nyaring membuat gadis itu keluar dari kamar dan  menghampirinya dengan tergesa-gesa. Gadis itu segera duduk disebelah pria tersebut dan menyingkap beberapa helai anak rambut suaminya sembari memperhatikan keningnya. Memang terlihat sedikit membengkak tetapi tidak ada darah sedikit pun disana.

 

Gadis itu menatap pria disebelahnya dengan wajah terganas yang ia miliki lalu mengangkat kepalan tangannya untuk memukul keningnya lagi. Tetapi sebelum niat jahatnya terwujud, pria itu sudah terlebih dahulu mengunci kedua tangan gadis itu dan mengecup bibirnya dengan cepat. Dia yang masih merasa terkejut hanya bisa mengedip-kedipkan matanya sedangkan pria itu mengambil kesempatan ini untuk kabur ke kamar.

***

Pria itu sedang berada di ruang kerja dengan laptop yang terbuka dihadapannya. Sesekali tangannya mengambil cangkir cokelat panas yang sudah tersedia diatas meja dan menyeruputnya sedikit demi sedikit. Dia sedang membuka internet dan membaca berbagai artikel mengenai wanita hamil.

Kesibukannya sebagai seorang entertainer terkenal tidak mau membuat dirinya dicap sebagai suami yang buruk karena tidak bisa mengurus istri yang tengah mengandung. Lagipula dia sangat mencintai istri dan calon anaknya sehingga ia tidak mau mengambil resiko untuk kehilangan salah satu diantara mereka apalagi hingga harus kehilangan keduanya hanya dikarenakan kelalaiannya dalam menjaga istrinya yang tengah hamil.

“Makanan bagi ibu hamil sebaiknya mengandung gizi yang seimbang, cukup vitamin dan serat alami buah dan sayur. Sebaiknya cuci bersih buah dan sayuran yang hendak dimakan mentah untuk mengurangi residu pestisida dan menghindari tercemarnya virus. Wanita hamil umumnya makan 5 kali sehari dan satu kali ditengah malam. Itu termasuk 3 kali makanan berat dan 3 kali makanan ringan,” gumam pria itu sembari menganggukkan kepalanya berulang kali, membenarkan hal yang tertulis di artikel tersebut.

“Wanita hamil suka pijatan kecil yang dilakukan terus menerus seperti pada bagian kaki ataupun pundak. Selalu sediakan waktu untuk bercengkerama karena kegiatan santai seperti itu bisa membuat istri tenang. Ah, begitu rupanya. Akan kucoba mulai besok,” ujar pria itu sembari mengambil cangkir cokelat panas lalu menyeruputnya.

Dia masih asyik membaca beberapa macam artikel lainnya ketika telinganya menangkap suara teriakan istrinya dari dalam kamar, membuat pria itu panik seketika lalu mendorong kursi kerjanya dengan kasar sehingga kursi tersebut membentur dinding di belakangnya dan meninggalkan bunyi debaman keras. Begitu sampai di depan kamar, dengan cepat  pria itu  membuka pintu kamar tersebut. Matanya menjelajah seiring dengan kakinya yang terus melangkah mencari keberadaan gadis itu dikamar luas mereka.

“Sayang, dimana kau?!” teriaknya keras yang dijawab oleh gadis itu dengan suara rintih kesakitan.

Kedua kakinya melangkah begitu saja ke arah kamar mandi, memutar kenop pintu itu dengan perasaan tak sabar dan merasa sangat kesal mendapati daun pintu tersebut terkunci dari dalam. Pria itu menemelkan telinganya pada pintu itu dan merasa sangat panik ketika suara isak tangis istrinya mulai terdengar dari dalam. Dengan kalap ia membenturkan tubuhnya pada daun pintu tersebut, mencoba membukanya dengan cara mendobraknya. Pria itu melakukannya berulangkali hingga pintu tersebut terbuka lalu segera menghampiri istrinya yang tengah terduduk di lantai kamar mandi dengan airmata dan keringat bercucuran.

“Oppa, sakit sekali,” lirih gadis itu sembari memegang perutnya. Wajahnya kini sudah mulai memucat beserta kelopak mata yang terpejam, membuat pria itu merasa panik dan takut melihat hal itu. Cepat-cepat ia menyelipkan kedua tangannya di bawah lutut dan punggung gadis itu, berniat menggendongnya saat kedua bola matanya menangkap darah mengalir dari paha ke betis gadis itu dan langsung merembes pada gaun selutut istrinya sehingga meninggalkan noda merah disana.

“Bayiku…”

***

Lampu yang padam secara mendadak membuat seorang gadis—yang masih menikmati drama kesukaannya sebelum lampu tiba-tiba mati—terlonjak kaget dan sontak melompat dari duduknya. Dia tidak pernah suka kegelapan seperti ini, apalagi pria yang berstatus sebagai suaminya sedang berada di kamar mandi membersihkan tubuhnya sehabis beraktivitas seharian penuh untuk menghibur para penggemarnya yang berjumlah jutaan ribu orang diluar sana. Gadis itu masih berusaha tenang dan menghirup udara berulangkali, melakukan olah pernapasan agar setidaknya pikiran-pikiran buruk mengenai kegelapan itu tidak menggerayangi seluruh sel otaknya. Kegelapan selalu identik dengan segala sesuatu yang berbentuk halus dan gaib atau gadis itu harus bilang… hantu.

Sial. Memikirkan satu kata itu saja sudah membuatnya merinding seperti ini.

Gadis itu duduk kembali lalu menaikkan kedua lututnya ke atas sofa dan segera menutup telinganya dengan kedua tangan, sedangkan kedua kelopak matanya ia pejamkan rapat-rapat. Indera pendengar dan penglihatannya itu bisa saja menemukan sesuatu yang tak mengenakkan sehingga mungkin dapat membuatnya pingsan di tempat. Gadis itu mencoba memberikan sugesti pada otaknya agar memikirkan sesuatu yang menyenangkan. Bibir mungilnya juga ikut mengaplikasikan hal tersebut dengan menggumamkan berbagai macam perkataan yang tidak dimengerti.

Dia sudah merasa sedikit baikan ketika sesuatu yang dingin terasa menyentuh salah satu pipinya, sehingga membuat tubuh gadis itu mengejang kaku, seolah-olah seluruh otot dan urat sarafnya mengalami disfungsi kerja. Pikiran buruk mengenai makhluk gaib kembali merengsek masuk ke dalam otaknya, membuat gadis itu tanpa sadar menahan napasnya. Ditambah dengan kenyataan bahwa ia tidak tahu makhluk seperti apa  yang tengah berdiri dihadapannya dan dengan seenaknya menyentuh kulit pipinya.

Gadis itu tidak mau memikirkan kemungkinan buruk mengenai kejadian ini tetapi ia tidak bisa memungkiri bahwa hal tersebut membuatnya merinding setengah mati. Sempat berpikir untuk pingsan saja daripada ia harus membuka mata dan mendapati mahkluk yang tidak boleh disebut namanya tengah menunjukkan wujud asli di depannya. Ini kali pertama gadis itu mengalaminya dan benar-benar terasa amat mengerikan.

“Kyaaa…” teriak gadis itu tiba-tiba. Dia sudah tidak bisa menahan rasa takutnya lagi dan memilih berteriak keras, berharap jika suaminya yang tengah berada di kamar mandi mendengar jerit ketakutannya, pria tersebut pasti langsung menghampirinya dan membuat makhluk dihadapannya segera menghilang. Setidaknya begitulah yang ia lihat di drama-drama horor kesukaannya.

“Kenapa berteriak?”

Eh? Hantu bisa berbicara? Segera gadis itu membuka matanya dan terkejut mendapati suaminya tengah berdiri dihadapannya. “Lee Sungmin?” tanyanya mencoba meyakinkan indera penglihatannya di tengah gelapnya penerangan.

“Iya, ini aku. Kenapa?”

Mata gadis itu mengerjap-kerjap, menunjukkan bahwa ia merasa canggung dengan situasi ini. Jadi, seseorang yang dia kira hantu itu adalah suaminya? Astaga, ini benar-benar memalukan.

“Kau mengira aku hantu?” tanya pria itu seolah bisa membaca pikiran gadis tersebut. Dia menangkupkan kedua tangannya di pipi gadis itu sedangkan matanya berkilat-kilat geli menatap gadis dihadapannya. “Jadi, seorang Lee Jinhye yang suka menonton film horor masih saja percaya dan takut dengan hantu?”

“Tidak usah menertawaiku,” ujar gadis itu sembari mengerucutkan bibirnya, merasa kesal mendapati pria itu terkekeh pelan.

Pria tersebut lantas beranjak dari tempatnya dan menjatuhkan dirinya pada bagian sofa yang kosong tepat disebelah gadis itu. Aroma mint yang terasa sangat segar menguar dari tubuh pria itu dan menghantam indera penciuman gadis itu, membuat gadis itu merasa nyaman seketika.

“Sudah selesai menontonnya?” tanya pria itu sembari mengambil sampul DVD dan membaca judul yang tertera disana Pregnant. Pria itu membalikkan sampul DVD tersebut lalu membaca sinopsisnya, mencibir mendapati lagi-lagi cerita murahan seperti itu yang ditonton oleh istrinya. Dia melemparkan sampul itu kembali ke atas meja panjang di depannya lalu dengan santainya mengalungkan sebelah tangannya diatas bahu gadis itu dan menarik tubuh mungil itu merapat kearahnya. Pria itu menyerukkan dan menggerakkan kepalanya di leher gadis itu, menggoda gadis itu ketika gadis tersebut malah menjitak kepalanya keras.

“Sudah,” jawab gadis itu singkat sembari menjauhkan dirinya dari pria itu dengan cara duduk disudut sofa lainnya. Dia memperhatikan pria itu yang tengah mengusap kepalanya dengan wajah memberengut kesal. Gadis itu benci mengakui ini tapi ketika pria tersebut sedang marah dan memiliki kebiasaan menekuk wajah seperti itu, dia terlihat lebih… mempesona? Astaga otaknya pasti rusak karena memikirkan hal menggelikan itu.

“Kenapa mejauh?” tanya pria itu, tidak mau repot-repot menutupi nada ketusnya. Nampak jelas bahwa ia tidak suka dengan tingkah gadis itu yang menjaga jarak dengannya. Oh, ayolah, dia manusia. Bukan virus mengerikan yang harus ditakuti dan dijauhi begini.

“Kau tidak mengerti? Dengar,” ujar gadis itu dengan suara dan raut wajah yang mendadak berubah serius, membuat pria itu mengerutkan kening “…sekarang sedang gelap karena pemadaman lampu mendadak dan kita hanya berdua diruang tv ini. Tidakkah kau pernah mendengar bahwa setanlah yang berada ditengah-tengah ketika sepasang manusia duduk bersebelahan? Lalu ditambah dengan suasana yang mendukung seperti ini, aku yakin kau akan melakukan sesuatu padaku.”

“MWORAGO?!” teriak pria itu, mendadak bangkit dari posisi duduknya.

“Aish, jangan berteriak. Telingaku masih berfungsi dengan baik.”

Pria itu berjalan dengan langkah lebar-lebar dan berdiri tepat dihadapan gadis itu. Kedua tangannya ia letakkan dipinggang, memberikan kesan angkuh pada pria tersebut. “Apa kau baru saja mengatakan bahwa aku pria mesum yang suka mencuri kesempatan?”

“Hei, itu kenyataan bukan? Bukankah setiap lelaki memang seperti itu? Tidak bisa melihat sedikit celah saja, langsung bertindak tanpa berpikir,” jawab gadis itu santai sembari menaikkan kedua kakinya ke atas sofa, duduk bersila.

“Aku tidak seperti itu!” teriak pria itu untuk kedua kalinya.

Gadis itu memejamkan matanya dan menahan napasnya tanpa sadar. Teriakan pria itu memungkinkan indera pendengarannya menjadi tuli. Gadis itu menatap pria yang masih bertahan berdiri dihadapannya dengan pandangan malas. “Ah, sudahlah. Aku hanya mencegah kau melakukan sesuatu yang tidak semestinya pada diriku, kenapa kau jadi marah, huh?”

“Tidak semestinya? Yak! Kau istriku, semua yang aku lakukan sudah semestinya. Berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, dan bercinta, semua itu hal biasa yang dilakukan pasangan suami istri. Lagipula, bukankah kau juga selalu pasrah dan menikmati apa saja yang aku lakukan pada tubuhmu?” sehabis mengucapkan hal tersebut, sebuah lemparan bantal sofa mendarat tepat di depan wajah pria itu.

“Kenapa kau vulgar sekali, hah? Tidak usah mengucapkannya sedetail itu!”

“Wae? Kau malu? Yak, apa wajahmu sedang memerah sekarang?” tanya pria itu mendadak merasa senang. Tangannya sudah memegang kedua bahu gadis itu, memaksa gadis itu agar mau mendongak sehingga ia bisa melihat ekspresi favorit dari gadisnya. Wajah memerah gadis itu, entah mengapa terlihat sangat manis dan menggemaskan dimatanya. Hal itu jugalah yang membuatnya suka sekali mengganggu, menggoda, dan membuat kesal gadis tersebut.

“Menyingkir dari hadapanku.”

“Ayo, tunjukkan padaku. Aku ingin melihat wajah jelekmu itu.

“YAK!!!”

Perdebatan itu terhenti seketika saat lampu tiba-tiba menyala, membuat kedua orang itu terlihat sangat bodoh karena menolehkan kepala berulangkali untuk memastikan bahwa lampu benar-benar sudah berfungsi seperti sediakala.  Gadis itu baru saja bernapas lega ketika sesuatu yang dilihatnya tepat di depan wajahnya membuatnya syok sehingga yang bisa ia lakukan hanya membulatkan kedua matanya lalu…

“KYAAAA!” teriakan nyaring gadis itu membuat kedua tangan pria yang masih bertengger di bahunya berpindah untuk menutupi telinganya sendiri.

“Lee Sungmin! Pakai kembali bajumu. Ya Tuhan, bagaimana bisa kau keluar dari kamar tanpa atasan seperti itu, hah? Menjauhlah. Pergi, pergi kau,” ucap gadis itu masih dengan suara tujuh oktaf miliknya. Salah satu tangannya sibuk menutupi matanya dari pemandangan yang menggugah selera itu  sedangkan tangannya yang lain ia kibas-kibaskan di udara, memberi kode pada pria itu agar segera enyah dari hadapannya.

“Astaga, kenapa istriku tersayang berlebihan sekali? Kau bahkan sudah melihat keseluruhannya, kan?” kata pria itu lalu terkekeh geli.

“Menggelikan. Aish…”

“Waeyo? Bukankah ini pemandangan yang sangat bagus? Coba kau pikir, berapa banyak wanita diluar sana yang ingin melihat tubuhku tetapi aku memberikannya secara cuma-cuma hanya pada dirimu. Jadi, apalagi yang kau tunggu? Cepat buka matamu dan lihatlah~”

“Silheo!”

“Lee Jinhye sayang~”

“Jangan memanggilku seperti itu!”

ooOoo

 

Udah lama enggak post ff malah buat yang hancur luar biasa kayak gini. Maaf (_ _)