Annyeong!!

ini adalah FF spesial dari saya untuk appa Jidi yang lagi ulang tahun. saya benar-benar anak berbakti kan? hwkakaakkak.

sejatinya, ini adalah FF request dari eomma Diyan  untuk menceritakan pertemuannya dengan appa Jidi sehingga menghasilkan saya dan anak-anak JiLo yang lain. hwkakakak.
#ngaco

sudah ahh. segitu saja intro-nya. 🙂

happy reading!

 ____________________________________________________

Title       : He Is My Kwon!

Cast       : Han Soo Hee (OC), Kwon Jiyong (G-Dragon Bigbang), Sandara Park (Dara 2ne1), Lee Chaerin (CL 2ne1)

Genre   : Friendship, Romance

Disclaimer :

ADIEZ-CHAN ©ALL RIGHT RESERVED
ALL PARTS OF THIS STORY IS MINE! NO OTHER AUTHORS! PLEASE DON’T COPY AND RE-POSTING WITHOUT CONFIRM AND HOTLINK!
DON’T PLAGIARIZE!

KEEP COMMENT AND NO SILENT READERS HERE PLEASE! 

 

 

– Prolog –

 

Cinta selalu muncul tanpa pemberitahuan. Ketika waktu demi waktu melayang dan terbang. Ketika bahkan dia telah mendiami hatimu tanpa kamu sadari. Ketika setiap detik yang berlalu, dia telah mencoba meluluhlantakkan hatimu secara perlahan.

Dan setelah kamu menyadari semuanya, kamu juga akan menyadari setiap waktu yang kamu lalui selalu terisi akan seseorang yang sama.

Begitulah cinta ini datang dan menggerogoti hatiku dengan manis.

Dan hari ini aku akan mengungkapkan semua perasaan ini, untuknya.

Untuk seorang Kwon Jiyong.

Sebuah hal penting yang harus aku perjuangkan…

***

“Soo Hee, Ayo pulang!”

Soo Hee yang sedang membereskan barang-barangnya seketika mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dimana sumber suara itu berasal. Telihatlah olehnya seorang lelaki sedang melambaikan tangan ke arahnya dengan senyumnya yang seperti anak kecil. Mau tak mau gadis itu tersenyum senang. “Nee nee, chakkaman.”

“Enaknya yang setiap hari pulang-pergi bersama Jiyonggie…” Chaerin mendekat ke mejanya dan mengerling menggodanya.

“Apaan sih? Ada-ada saja.” Soo Hee mengelak dan menampakkan senyum manisnya. Senyum itu selalu berhasil membuat sejuta makna, menghadilkan rasa penasaran dan ketertarikan bagi mereka yang memandangnya. Kemudian tatapannya kembali teralih pada Kwon Jiyong, lelaki yang kini mulai dikerubungi penggemarnya bak gula pasir dan semut-semut merah. “Aku dan dia hanya tetangga, Rin-ah. Tidak lebih dari itu.”

“Jincha?”

“Nee.”

“You know if I’m not sure about this.”

Soo Hee mengedikkan bahunya tak peduli, “Whatever.” Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, dia segera mengangkat tas jinjingnya dan menyelempangkannya di salah satu pundaknya. “Aku pulang dulu, Rin-ah. Jiyonggie bisa mengomel bila terlalu lama menunggu. Jjalja!”

Langkah kakinya berderap menghampiri lelaki yang kini semakin menebar senyum menawannya pada gadis-gadis cantik yang mengerubunginya. Tidak sadarkah lelaki itu bahwa senyumnya saja bisa meruntuhkan segenap hati yang dimiliki seluruh wanita di hadapannya?

Tentu saja dia sadar, dan dia makin sering melakukannya. Dasar playboy kampung!

“Jiyonggie…”

Lelaki itu menghentikan aktivitasnya dan berjalan ke arah Soo Hee dengan antusias. “Sudah selesai? Ayo pulang. Aku benar-benar mengantuk…”

“Nee. Ayo pulang.”

Soo Hee melangkah cepat meninggalkan Jiyong di belakangnya. Kaki-kaki mungilnya dia paksakan untuk melangkah sejauh mungkin dari lelaki itu. Dia telah menahan diri untuk tetap tersenyum ketika gadis-gadis itu mengerubungi Jiyong, namun ketika lingkungan hanya menyisakan mereka, dia tak bisa lagi menahan rasa sebal yang menyergap hatinya.

Mengapa lelaki itu seperti magnet untuk gadis-gadis di kampusnya? Apa istimewanya? Apa gadis-gadis bodoh itu tidak bisa melihat jidatnya yang lebar melebihi lapangan golf? Atau tubuhnya yang kelewat kurus untuk ukuran lelaki, bahkan tak sedikitpun otot yang Nampak di lengannya. Temannya Youngbae saja masih punya otot yang jauh lebih bagus darinya. Belum lagi tinggi badannya yang hanya di tingkat ‘standar’. Tuh kan?! Jiyonggie itu jelek!!

Tapi… dia pintar. Atau bisa dikatakan jenius. Kedua bola matanya selalu menampakkan sinar keceriaan. Dan senyumnya sangat polos seperti anak kecil. Suaranya indah, apalagi kalau mulai bernyanyi rap dengan grup vokalnya. Terus sikap ramahnya, kebaikannya pada orang lain. Belum lagi style-nya yang keren dan fashion yang up to date.

Oke, sepertinya gadis itu mulai memuji lelaki itu. Mengapa setiap dia mencari kelemahan lelaki itu, ternyata selalu saja kelebihan yang sosok itu punya jauh lebih memikat hatinya. Membuatnya gagal untuk membencinya. He’s like a perfect guy in her eyes.

“Soo Hee, jalanmu cepat sekali. Kamu kenapa sih?” Jiyong ikut mempercepat langkahnya dan mempersempit jaraknya dengan Soo Hee. Begitu jarak mereka tak lebih dari sejengkal tangannya, lengannya dengan cepat menarik tubuh Soo Hee untuk mendekat ke arahnya. “Soo Hee…”

Derap langkahnya terhenti, digantikan oleh derap jantungnya yang sudah melampaui normal. “Wae?”

“Besok aku ulang tahun. Kamu tidak lupa untuk memberiku hadiah kan?”

Tentu saja dia tidak lupa. Tidak akan pernah lupa untuk mempersiapkan hadiah yang selalu sama setiap tahunnya. Namun, lelaki itu tidak pernah tahu.

“Ahh, aku lupa.”

“Kalau begitu sekarang kamu ingat kan? Besok aku akan menunggu hadiahmu, Soo Hee,” dia menampakkan senyum polosnya. Menjadi teman masa kecilnya tidak cukup mampu untuk membuat Soo Hee terbiasa untuk tenang ketika melihatnya.

“Tidak mau.” Soo Hee membuang mukanya tak acuh.

Dahi Jiyong berkerut heran. Sepasang bibirnya maju ke depan, menampakkan ekspresi anak kecil yang gagal meminta sebatang lollipop dari ibunya. “Wae?”

“Kamu kan sudah mendapat begitu banyak kado dari yeoja-yeoja itu. Untuk apa lagi aku memberimu hadiah?”

Itu kan beda, Soo Hee. Aku maunya dari kamuuu…”

“Aku yang tidak mau memberimu, Jiyonggie. TITIK.” Soo Hee melepaskan dekapan yang masih menempel di tubuhnya dan berjalan meninggalkan Jiyong. “Sekarang ayo pulang. Aku mengantuk.”

“Soo Heeeeee… jebaaal…~”

“Malas!”

***

Soo Hee berjalan mendekati seorang wanita separuh baya yang sedang sibuk di dapurnya, seolah tempat itu adalah dunia miliknya sendiri. “Ahjumma, Jiyonggie sudah siap? Kami ada kelas pagi hari ini.”

Wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah Soo Hee dan tersenyum tipis. “Ahh. Anak itu masih tidur, Soo Hee sayang. Bisa kamu bangunkan? Ahjumma masih menyiapkan makanan.”

“Ah nee.”

Gadis itu kemudian pergi menuju kamar Jiyong. Dia sudah mengenal Jiyong terlalu lama. Terlampau lama hanya untuk mengenal di mana letak kamar lelaki itu, kebiasaannya yang susah bangun pagi, bahkan gaya tidurnya yang seperti udang goreng.

Jegreekk.

Pintu kamar itu terbuka, menampakkan Jiyong dalam pose yang sudah Soo Hee bayangkan sebelumnya, udang goreng dalam balutan tepung bernama bed cover. Pikiran itu tak ayal membuatnya tersenyum kecil. “Jiyonggiee… ayo bangun. Kita ada kelas pagi hari ini.”

Lelaki itu tidak bergerak sedikitpun. Seolah dunia mimpi benar-benar memutuskannya dari dunia nyata.

Soo Hee pun akhirnya bergegas mendekati ranjang dan berjongkok mengamati raut tenang Jiyong. Dalam jarak yang tak lebih dari setengah lengan itu, gadis itu selalu bisa mengagumi keindahan yang tersaji di hadapannya. Bagaimana bisa seorang lelaki yang dulu tak lebih dari seorang bocah tengil, menjelma menjadi seorang lelaki yang mendekati kata sempurna, yang hanya dengan kerlingan matanya saja, dia mampu memberantakan hati setiap wanita di hadapannya. Menjadi seorang gentleman  yang kini tak henti dipujanya. Tidak heran juga kalau sampai hari ini, dia selalu menjadi idola di kampus.

“Mau sampai kapan menatapku seperti itu, Soo Hee?”

Gadis itu terkesiap. Jiyong bertanya dengan mata yang masih tertutup. Apa itu artinya lelaki itu telah bangun sejak tadi namun membiarkannya menjelajahi setiap tekstur wajahnya? Soo Hee segera berdiri dan membuang mukanya yang sudah mengalahkan merahnya apel ranum. “Ani. Siapa juga yang menatapmu?”

“Oh ya?”

Soo Hee menatap Jiyong dengan pandangan sengit dan mencibir, “Nee. Untuk apa pula aku melihat orang jelek sepertimu? Lebih baik aku memandangi wajah Seunghyun sunbae yang jelas lebih tampan dengan jidat yang tidak selebar dirimu.”

Jiyong melengos. “Nee nee. Terserah kamu sajalah.”

Soo Hee menarik selimut Jiyong secara paksa, “Sudahlah, Jiyonggie. Ayo cepat bangun atau kita akan terlambat.” Kemudian gadis itu berbalik untuk meninggalkannya, “Aku tunggu di depan.”

Sebelum gadis itu sempat mengangkat kaki menjauh, jemari Jiyong telah menyergap lengannya, membuat langkahnya terhenti dan hatinya bergemuruh. Setelah gadis itu akhirnya menoleh ke belakang, membalas tatapan serius Jiyong terhadapnya, lelaki itu bertanya, “Soo Hee, kamu sudah punya namja-chingu?”

Sekali lagi lelaki itu sukses membuatnya tersentak. Raut mukanya kini dengan cepat sudah dijalari oleh gurat-gurat merah. Kedua bola matanya seketika membulat ketika pertanyaan itu keluar dari bibir Jiyong. Tangannya yang lain kemudian menarik sebuah bantal yang tidak terpakai dan menelungkupkannya paksa di wajah Jiyong, “Apa-apaan sih? Kamu ini mengigau, huh?!” Setelahnya, dia segera mencoba melepaskan genggaman tangan Jiyong terhadapnya dan berjalan cepat keluar kamar dengan emosi memburu, “Cepat bangun atau kita akan terlambat, JIYONGGIEE!!”

Jiyong hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil menatap Soo Hee keheranan, “Nee nee.”

 

Jantungnya masih berdebar cepat. Bahkan raut mukanya tak semudah itu kembali normal, masih ada garis-garis merah di beberapa tempat. Bagaimana bisa lelaki itu menanyakannya dengan nada santai. Tidak tahukah dia bahwa dia selalu mendapat tempat teratas di hatinya, menghiasi setiap daerah yang tersedia di hatinya hingga tak sanggup lagi menampung orang lain.

“Hhh…” gadis itu menelungkupkan wajahnya di meja makan rumah Jiyong dan menghembuskan nafas panjang, lelah. Ya berhadapan dengan Jiyong di pagi hari sudah menguras seluruh tenaganya.

“Mianhae, menunggu lama?”

Soo Hee mengangkat kepalanya dan mengalihkan pandangannya menatap Jiyong. Dan, Oh oke, pada hari ini pun, dia tampak begitu sempurna walau hanya dengan T-shirt bermotif sebuah headset yang dikalungkan, lengkap beserta kabelnya berwarna putih dan berlapis kemeja kotak-kotak berwarna biru. Untuk sesaat, Soo Hee bisa merasakan jantungnya mulai berpacu ketika melihat sebuah ‘lukisan nyata’ itu. “Ani. Sudah siap?”

“Nee.” Dia mengambil sekerat roti gandum yang disediakan untuknya dan menggigitnya. “Eomma, aku berangkat!”

Keduanya pun bergegas keluar dari rumah Jiyong. Baru saja Jiyong menutup pintu rumahnya ketika Soo Hee melihat tali sepasang sepatu milik lelaki itu terurai tak beraturan. “Chakkaman.” Dia kemudian berjongkok untuk mengikatkan dua pasang talinya. “Kamu ini… selalu saja lupa mengikatnya. Bagaimana kalau nanti jatuh, huh?”

Saat Soo Hee kembali berdiri di sampingnya, Jiyong segera mengamati hasil karya gadis itu di sepasang sepatu sneakers-nya. Kedua sudut bibirnya tertaris sedikit, membentuk sebuah senyuman yang terkulum, seakan ada sesuatu yang dia duga namun tersembunyi dalam senyumannya.

Dahi Soo Hee mengernyit bingung, “Wae?”

“Ani.” Jiyong menyeringai senang dan memamerkan deretan gigi putihnya. “Yapp, ayo berangkat.”

***

 

Hidup itu terlalu singkat untuk menyembunyikan perasaan. Ekspresikan apa yang kamu rasakan. Kamu tidak akan tahu apakah dia juga mempunyai perasaan yang sama denganmu.

“Jiyong, ini hadiah untukmu.”

“Oppa, saengil chukkaeyo. Ini hadiahnya.”

“Sunbae, saengil chukkahamnida. Ini kado yang aku persiapkan untukmu, sunbae.”

“Saengil chukkae, Jiyong. Ini hadiah khusus aku beli di Eropa untukmu seorang. Semoga kamu suka.”

Chaerin menatap datar pemandangan Jiyong dan penggemar-penggemar yang mengerubunginya bak lalat. Namun hari ini, rasanya ‘lalat-lalat’ itu semakin banyak dan berjubel. Apalagi kalau bukan karena seorang ‘superstar kampus’ itu sedang menikmati hari spesialnya, ulang tahun. Jadilah, kado-kado itu kini telah berpindah tangan dari para gadis pemuja itu ke tangan Jiyong hingga rasanya lelaki itu tak mampu membawanya.

“Jeongmal gomawo ya… Kalian baik sekali, ladies…” Jiyong tertawa senang sambil menatap satu persatu pemberi hadiah, membius mereka dengan senyuman anak kecilnya.

Chaerin tertawa kecil melihat tingkah laku Jiyong. “Uwaa… aura di sekitar Jiyong rasanya bahagia sekali.” Kemudian dia beralih menatap temannya yang terpaku di kursinya dan menatap pemandangan yang sama dengan hawa membunuh. Tanpa sadar, tubuhnya sudah bergidik ngeri, “Beda sekali dengan yang disini.”

Soo Hee mengalihkan pandangannya menatap Chaerin dengan tatapan tajam. “Apa maksudmu?”

“Kamu tidak sadar? Aura di sekitarmu itu sudah seperti neraka, Han Soo Hee! Aku seperti bisa melihat latar hitam pekat dengan api merah membara yang menjilat-jilat. Kamu ini kenapa sih?”

Tangan Soo Hee kemudian terangkat diantara surai-surai rambutnya dan mengacak-acaknya hingga tak beraturan. Bibirnya dikerucutkan untuk menunjukkan rasa sebalnya. “Chaeriiin…”

“Nee? Wae?”

“Aku tidak akan masalah kalau yeoja-yeoja lalat itu mengerubungi Jiyonggie. Tapi diantara semuanya, kenapa yang di dekat Jiyonggie itu adalah YEOJA ITUU?!!! Haiiissh!!”

“Eh? Yeoja yang mana?”

“Ituuu!” Chaerin menunjuk seorang gadis yang menggelayut manja di lengan Jiyong. “Yeoja jelek menyebalkan ituu… kenapa harus pegang-pegaaangg??!!!”

Chaerin akhirnya mengerti siapa gadis yang dimaksud. Dia menahan senyum gelinya melihat tingkah temannya yang tampak frustasi melihat adegan itu. “Aahh… Park Sandara? Itu sunbae kita kan?”

“Nee. Huaa… kenapa harus dia, Chaeriiin…” Soo Hee menelungkupkan wajahnya frustasi.

Oke, adegan itu memang cukup mesra. Seorang gadis menggelayutkan kedua tangannya manja di lengan Jiyong. Belum cukup dengan itu, kepalanya pun telah menyender di pundak Jiyong yang cukup lebar untuk ukuran seorang lelaki. Dan sialnya, Jiyong tampak senang mendapat perlakuan tersebut.

“Bukannya kamu bilang kalian CUMA tetangga? Kenapa sekarang kamu marah-marah?”

Soo Hee menatap Chaerin memelas, “Chaeriiin… please don’t say that. I know this…”

“Sudahlah, Soo Hee. Mau sampai kapan kamu hanya memberi kado diam-diam? Just say what you feel. Who knows if he feels the same with you?”

Soo Hee melengos pelan. “Molla.” Dia kemudian beranjak dari kursinya dengan perasaan kesal, Aaaaahh… aku mau ke toilet!”

***

Soo Hee menatap pantulan dirinya di cermin toilet dengan sebal. Bagaimana tidak sebal bila dia melihat seorang Kwon Jiyong, sedang bersama primadona kampus ini, Park Sandara dalam adegan yang –euuhm…- MESRA. Siapa yang tidak kenal Park Sandara, gadis cantik keturunan Filipina, yang berotak encer, dan bertubuh bak biola. Siapa yang tidak akan jatuh cinta dengan gadis sesempurna itu?

Jiyong pun sepertinya akan masuk ke dalam perangkap busuknya. Dasar playboy kampung! -__-“

Sekarang, bahkan temannya pun mendesak hal yang sama dengan salah satu sisi dirinya, mengaku. Namun salah satu dirinya yang lain mendesak hal yang sebaliknya. Bahwa hal itu bisa saja sangat beresiko. Bisa saja seorang Jiyong menolaknya dan memilih Park Sandara.

Dan dia terlalu takut untuk mengambil resiko tersebut.

Soo Hee menghela nafas panjang, pasrah. Terserah sajalah bila memang dia harus kehilangan lelaki itu. Mungkin memang begitulah jalannya.

Gadis itu membalikkan badan dengan lemas, ketika dia melihat seseorang yang paling dibencinya di seluruh jagad raya itu di hadapannya. Dia bertanya dingin, “Ada apa, Sandara sunbae?”

Sandara, gadis di hadapannya itu, menatap Soo Hee dengan tatapan tersinis yang dia punya. Keduanya saling menatap benci, seolah ada aliran listrik yang keluar dari kedua pasang bola mata tersebut. “Ani. Hanya ingin mengobrol denganmu.”

“Oh ya? Tapi aku tidak punya waktu, Sunbae. Aku harus pulang.” Soo Hee berjalan melewatinya.

“Chakkaman. Aku hanya ingin bilang, jauhi Kwon Jiyong.”

Langkah kaki Soo Hee terhenti. Dia terhenyak mendengar pernyataan yang baru saja dia dengar. “Apa maksud, sunbae?”

“Kukira maksudku sudah sangat jelas. Kamu HANYA tetangganya kan? Aku akan memilikinya, jadi lebih baik, kamu menjauh darinya mulai sekarang. Arasseo!” Sebelum Soo Hee sempat membuka bibirnya untuk membalas ucapannya, Sandara sudah berjalan keluar dari toilet dengan angkuhnya.

Selepas kepergian gadis itu, rasanya badan Soo Hee langsung lemas seketika. Seolah ucapannya hanya untuk menyadarkan dirinya atas statusnya dengan Jiyong. “HANYA TETANGGA”. Dan dia benci akan hal itu.

Soo Hee mendengus pelan. Terserahlah. Dia tak mau tahu lagi hubungan Park Sandara dengan Kwon Jiyong. TIDAK MAU TAHU!

Akhirnya dia berjalan keluar toilet dengan langkah gontai. Ini sudah jam pulang dan orang tuanya sedang pergi ke luar kota. Mungkin Jiyong pun hari ini lebih memilih pergi bersama Park Sandara daripada hanya menemaninya.

Aaahh! Hari yang menyebalkan! Bahkan setelah semua disaster yang terjadi, dia belum mengucapkan ‘selamat’ untuk Jiyong.

Samar-samar dari jauh dia bisa mendengar percakapan dua orang, atau mungkin tiga. Salah satu diantaranya dia sangat mengenalnya, Jiyong. Suaranya yang lain, yang terdengar centil dan menyebalkan, adalah suara Park Sandara. Dan suara lainnya, dia tak mengenalnya.

“Jiyong, ayo pergi karaoke! Aku ingin mendengar suaramu yang indah.”

“Euhm…” Jiyong terlihat berpikir. Kedua bola matanya mengedar ke sekeliling dan terhenti ketika dua pasang mata Soo Heed an dirinya bertemu. Tanpa sadar, senyumnya mengembang girang. “Soo Hee! Sudah mau pulang?”

Soo Hee menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa tidak enak mengganggu pendekatan gencar yang dilancarkan Sandara pada lelaki di hadapannya. “Ah, nee.”

Jiyong beralih kembali menatap Sandara dengan tatapan bersalah. “Mianhae, sunbae. Aku harus menemani Soo Hee di rumah. Orang tuanya sedang pergi ke luar kota, dan dia tak berani di rumah sendirian.”

Eh? Soo Hee tercengang. Jiyong lebih memilih menemaninya daripada karaoke bersama gadis secantik Sandara?

“Aaaah… Jiyong, Soo Hee-ssi kan bisa jaga rumah sendiri, dia kan sudah besar.” Tangan Sandara kemudian bergelayut kembali ke lengan Jiyong dengan manja. “Ayolah, Jiyong, kita bersenang-senang sejenak di hari ulang tahunmu…”

“Nee, Jiyonggie. Kamu pergi saja bersama mereka.” Soo Hee memaksakan senyumnya, seakan menyiratkan bahwa dia sendiri pun tak ingin melewatkan waktu tanpa Jiyong.

Jiyong memandang Sandara dengan tatapan serius dan dingin, “Jeongmal mianhae, sunbae. Sekalipun kalian memaksaku, aku tetap tidak akan mau. Aku harus menemani Soo Hee hari ini.” Tatapan itu kemudian berubah menjadi senyum, senyum anak kecil seakan tidak ada apa-apa. “Jadi, lain kali saja ya, sunbae. Jjalja!”

Soo Hee hanya tercengang melihat apa yang dilakukan Jiyong untuknya. Bahkan ketika Jiyong menggandeng tangannya untuk segera pergi dari tempat itu, dan diikuti oleh tatapan sebal Sandara, Soo Hee masih tidak sadar.

Mungkin apa yang lelaki itu lakukan jauh dari apa yang dibayangkannya.

***

“Soo Hee, aku lapar. Ada makanan apa di dapurmu?”

Soo Hee menghempaskan badannya di atas empuknya sofa dan menutup matanya dengan lengan kecilnya, “Cari saja apa yang ada. Buat bibimbap saja kalau mau. Atau mau pesan jjangmyun?”

“Ani. Tidak usah.”

Jiyong melirik Soo Hee yang terlihat kelelahan hari itu dengan pandangan tak tega. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis itu, namun sepertinya cukup berat untuknya. Lelaki itu tidak ingin memaksanya bicara, karena gadis itu akan bicara sendiri padanya bila dirasa perlu dan dia siap mengatakan masalahnya. Dan ketika saat itu datang, dia akan membuka kedua tangannya selebar-lebarnya untuk gadis itu.

“Soo Hee…”

Tidak ada jawaban.

“Soo Hee-ah…”

Tetap tidak ada jawaban. Mungkinkah dia sedang…?

Sama seperti Soo Hee yang sangat mengenal setiap detil kebiasaan Jiyong, Jiyong pun sangat hafal dengan setiap kebiasaan yang dilakukan Soo Hee. Dia pasti sedang tertidur dengan lelap di sofanya sekarang.

Jiyong melongok ruang keluarga rumah Soo Hee dan menemukan gadis itu telah tertidur dengan pose tepat seperti yang dibayangkannya. Tak ayal dia tersenyum tipis, “Soo Hee? Bangun… nanti kamu bias masuk angin.”

“Euuhh…” Soo Hee melenguh pelan, dan membalikkan badannya kea rah lain, seakan tak terganggu dengan tindakan Jiyong.

Jiyong mendekat ke telinga Soo Hee dan berbisik, “Soo Hee, kamu bangun atau…”

GRAPP!!

 

Soo Hee tiba-tiba bangun dari tidurnya dan menyadari dia telah berada di dalam kasur empuknya. Shock, bola matanya mengedar liar ke sekeliling, dan menyadari, itu kamarnya, dia memandangi baju yang dikenakannya, masih baju yang sama dengan yang dia gunakan ke kampus tadi.

Lalu? Bukankah tadi dia tertidur di sofa? Dan bagaimana bisa sekarang dia berada di kamarnya?

Jangan-jangan…

“Sudah bangun?” Jiyong masuk ke kamarnya tanpa izin.

“Nee. Apa kamu yang mengangkatku, Jiyonggie?”

Jiyong mendekat ke ranjangnya dan tersenyum, “Tentu saja. Kamu bisa masuk angin kalau tidur di luar, Soo Hee. Sudah berapa kali kubilang?”

Wajah Soo Hee seketika dijalari garis-garis merah dan terasa sangat panas. “Nee. Gomawo.”

Tangan jiyong terangkat mengusap helaian rambut Soo Hee lembut. “Cheonma. Aku pulang dulu, ahjumma sudah pulang. Gaseyo, Soo Hee.”

“Ah, nee. Gaseyo.”

Ketika Jiyong telah pergi dari kamarnya, jantung Soo Hee masih saja tidak bisa berdetum dengan normal. Wajahnya pun tak bisa kebali ke warna asalnya dan rasanya semakin panas seiring dia menyadari bahwa Jiyong telah menggendongnya ke kamarnya dalam keadaan tertidur.

Dan saat itulah, dia menyadari. Harus ada diantara mereka yang berbicara tentang perasaan mereka. Dan mungkin, dialah yang harus memulai.

***

 

Aku tidak ingin sesuatu yang sempurna. Aku ingin sesuatu yang nyata. Sesuatu diantara kita berdua, sesuatu yang sama-sama kita rasakan.

Soo Hee mengecek kembali riasannya di depan kaca dan memastikan segala yang terlihat di hadapannya sudah sempurna. Dia menatap kado yang dia persiapkan sejak lama, kado yang selalu sama setiap tahunnya, selama lima tahun.

Ya, dia selalu memberi kado untuk Jiyong selama lima tahun, namun tanpa nama. Kado yang paling disukai Jiyong, dark chocolate. Tanpa lelaki itu sadari, dia telah memakannya di depan Soo Hee, membuat gadis itu benar-benar senang melihatnya.

Namun kali ini, dia ingin mengakhiri semuanya. Ingin jujur pada perasaannya.

Mengakui segalanya.

***

Ting toong…~~

“Jiyonggiee… kamu ada di rumah?”

Tidak ada jawaban dari dalam.

Soo Hee mencoba menggerakkan gagang pintunya, tak terkunci. Perlahan dia membuka daun pintunya dan melongok ke dalam.

Namun kemudian dia menyesali perbuatannya.

Matanya seketika membulat melihat apa yang dilihatnya. Jantungnya mencelos dan terasa sangat sakit hingga seperti terajam habis. Kedua matanya tiba-tiba terasa panas dan dirasakannya air mata telah mengumpul di kedua pelupuknya.

Jiyong berpelukan, dengan Park Sandara.

“Ss… Soo Hee?”

Sandara tersenyum licik padanya, membuatnya sangat muak melihatnya. Refleks dia berlari dan menjauhkan Sandara dan Jiyong dengan penuh kemarahan, kemudian dia memeluk Jiyong erat sambil memandang Sandara dengan tatapan benci dan muak. “Menjauhlah dari Jiyonggie!!”

Senyap.

Semua pelaku dalam ruangan itu terdiam, seolah memberi Soo Hee waktu untuk berbicara.

“Kalau kamu menyukai Jiyonggie, harusnya kamu mengatakannya secara terang-terangan! Jangan menjadi pengecut dengan mengancamku! Harusnya kamu mengatakannya seperti aku!”

“Soo Hee?” Jiyong menatap gadis yang memeluknya bingung.

“Aku tidak akan menyerahkan Jiyonggie padamu, Sunbae!”

Semuanya tercengang.

Sesaat kemudian, Sandara menghela nafas dan tersenyum kecil. “Aku tahu kalau kamu menyukai Jiyong. Tapi kamu tidak pernah mau mengungkapkannya, sehingga Jiyong memintaku untuk memanas-manasimu. Tapi sepertinya aku sudah keterlaluan. Mianhae, Han Soo Hee.”

Jiyong? Memanas-manasi?

Sandara kemudian beralih menatap Jiyong dengan senyumannya yang menawan, “Jadi, usahaku sukses besar kan, Yong-Yong?”

Jiyong mengulum senyumnya.

***

 

– Epilog –

“Jadi, semua ini sudah kamu rencanakan?”

“Nee.” Jiyong mengambil kadonya dari tanganku. “Dark chocolate lagi?”

Aku tercengang untuk ke sekian kalinya. Bagaimana dia bisa menebak isinya? “Kok kamu tahu kalau isinya dark chocolate?”

Kedua sudut bibir Jiyong terangkat, menjadikan sebuah senyum polos yang selalu memikat hatiku. “Tentu saja. Mianhae, Han Soo Hee. Aku sudah tahu bahwa kamu selalu memberi kado untukku sejak lima tahun yang lalu walau tanpa nama. Aku hanya terlalu malu untuk bertanya…”

“Eh? Bagaimana bisa?”

“Mungkin kamu tidak pernah menyangka, tapi caramu mengikat pita itu selalu khas. Karena itu, aku langsung tahu bahwa kamulah pengirimnya ketika melihat pita yang terpampang di atas kado-kado itu.”

Aku terhenyak. Jadi selama ini Jiyong sudah tahu bahwa akulah pengirimnya?

Aku menatapnya penuh harap, mencoba menepis rasa malu yang pekat yang tengah menjalari diriku, “Jadi? Apa kamu mau…”

Dahinya mengernyit bingung, “Mau?”

“Oh c’mon Jiyonggie… jangan buat aku mengatakannya…”

Jiyong tersenyum tipis. “Nee nee. Aku mau jadi namja-chingumu. Itu yang mau kamu katakan kan?”

Aku membuang mukaku dari tatapannya. Rasanya kedua pipiku sudah mendidih saking merah dan panasnya. “Jangan lupa untuk membalas semua kadoku selama lima tahun, Jiyonggie! Aku akan menagihmu!!”

“Heh?! Perhitungan sekali kamu! Dasar tukang tidur!”

“Apa?! Dasar jidat lebar!”

“Heh! Maksudmu! Jidatku normal-normal saja! Dasar pendek!”

“Lebar!”

“Pendek!”

“Lalalaa…~~”

 

Dia itu seperti coklat. Semua orang tahu dia, namun rasa manisnya tidak akan pernah pudar…

___________________________________________________

fin.

bagaimana bagaimanaaa?

karena bikinnya super ngebuut, waduuhhh. saya ga janji dehh feel nya bakal kerasa. jadii… jeongmal mianhaee..

KEEP COMMENT AND NO SILENT READERS HERE, PLEASE!

gomawoyoooooooooooo!!!!!!!!!!! ^___________^