Title: Time Traveler (Part 7)

Author: bangmil

Length: Continue

Genre: Romance, Sci-Fi

Cast: Han Sehyun (OC), Hoya (Infinite), Seungyeon (KARA), Infinite members

Happy reading~

***

Title: Time Traveler (Part 7)

Author: bangmil

Length: Continue

Genre: Romance, Sci-Fi

Cast: Han Sehyun (OC), Hoya (Infinite), Seungyeon (KARA), Infinite members

Happy reading~

***

Normal POV

“Hoya ssi, sampai kapan kita harus menunggu?” tanya Sehyun yang dari wajahnya sudah tampak sangat lelah. Ia pikir Hoya akan mengajaknya ke suatu tempat yang indah untuk menghiburnya, tapi sepertinya perkataan Hoya tidak mengandung arti implisit sama sekali.

“Sebentar lagi.” Jawab Hoya singkat.

Sehyun menghela nafas panjang. Sudah tiga puluh menit mereka berdua menunggu di depan rumah yang tampak tak berpenghuni ini. Sehyun menenggelamkan kepalanya ke dalam kedua lututnya, lelah.

“Eh, Hoya?” Terdengar suara seorang laki-laki menyebut nama Hoya. Sehyun pun mendongak dan mencari sumber suara tersebut. Ia mendapati seorang pemuda yang tampaknya lebih tua beberapa tahun dari Hoya, datang menghampiri mereka berdua.

“Hyung, lama sekali.” Keluh Hoya.

“Maaf, maaf..” Pemuda itu tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sehyun memperhatikan pemuda tersebut. Yang membuat ia tertarik adalah mata pemuda itu yang menghilang ketika tertawa, karena matanya yang ukurannya lebih kecil dibanding orang

Korea pada umumnya. Pemuda tersebut terlihat heran begitu melihat Sehyun yang tampak asing di matanya.

“Sehyun imnida.” Ucap Sehyun begitu ia sadar kalau diperhatikan.

Pemuda itu mengangguk-angguk mengerti. Ia menoleh ke arah Hoya. “Ini pacarmu?”

Hoya menghela nafas panjang. “Bukan, hyung. Dia ini gadis aneh yang jatuh dari langit.” Seketika Sehyun menatapnya tajam.

Pemuda itu tertawa. “Jatuh dari langit? Ah.. maksudmu seperti malaikat, begitu? Wah, aku baru tahu kalau kau bisa romantis juga, Hoya! Hahaha..”

“Bukan itu maksudku!”

“Aigoo.. Hoya ini memang suka malu-malu, Sehyun ssi.” Ujar pemuda itu pada Sehyun. Ia tertawa lagi, membuat matanya yang sipit menjadi semakin tidak tampak.

“Haha..” Sehyun tertawa dipaksakan. Ia sudah kehabisan tenaga untuk membantah persoalan kecil seperti itu. Ia mendekat ke arah Hoya sambil berbisik. “Ini siapa?”

“Guru musik di sekolah Sungjong.” Jawab Hoya singkat.

“Ayo silakan masuk.” Ujar pemuda tersebut sembari membuka pintu rumahnya lebar. Sehyun pun menurut dan memasuki rumah yang terbilang kecil itu. Betapa terkejutnya dia begitu melihat banyak foto yang dibingkai rapi, digantungkan berjejer di tembok. Foto-foto tersebut masih berwarna hitam putih, mengingat di jaman ini belum terdapat percetakan foto berwarna.

“Walaupun aku bekerja sebagai guru musik, sebenarnya hal yang paling aku sukai adalah fotografi,” lanjut pemuda itu sambil membereskan buku-buku yang berserakan. “Tunggu sebentar, aku ambilkan minum dulu.”

Sehyun masih saja terpaku dengan foto-foto tersebut. Walau hanya terdiri dari dua warna, entah kenapa setiap foto tersebut dapat berbicara. Ia bisa dengan jelas melihat kisah yang diungkapkan foto-foto tersebut.

Setelah itu, ia memperhatikan sudut demi sudut rumah tersebut. Matanya membulat begitu menemukan piano yang duduk cantik di sudut ruangan. Perlahan, ia berjalan mendekati piano yang tampak kuno itu. Dengan hati-hati, ia menekan tuts piano tersebut.

TING

Senyum yang mengembang di wajah Sehyun memudar. Ia memutar bola matanya dan menghela nafas. “Tidak di stem.”

“Ah, maaf ya. Piano itu memang sudah lama tidak digunakan. Aku lebih sering pakai yang di sekolah.” Ujar pemuda tadi dari arah dapur.

Pemuda tadi meletakkan minuman di atas meja tamu dan memberikan sebuah amplop yang cukup besar pada Hoya. “Ini foto-foto minggu lalu.”

Hoya tersenyum sembari mengecek isi amplop tersebut. “Gomawo, hyung. Kau memang berbakat di bidang ini.”

Sehyun yang tidak tertarik dengan pembicaraan Hoya dengan pemuda tersebut mengamati setiap sudut rumah itu. Matanya tertuju pada sebuah bilik yang agak gelap dan tersembunyi.

“Oh.. tempat ini untuk mencetak foto ya,” gumamnya. Sehyun terkekeh pelan begitu mendapati foto Sungjong yang nyaris ia kira perempuan. Di sana juga banyak terpajang foto-foto pemandangan dan orang-orang yang tidak dikenal.

Namun tiba-tiba alisnya mengerut. Ia menemukan sebuah foto yang menampilkan seorang gadis berseragam sekolah yang sedang tersenyum manis.

“I-ini kan..”

***

Sehyun sekarang sedang berdiri menunggu seseorang di tempat ia berada sehari yang lalu. Namun kali ini ia tidak bersama Hoya, karena ia sudah meyakinkan bahwa ia bisa pergi sendiri. Atau mungkin sebenarnya Sehyun tidak ingin orang lain tahu apa yang ia akan lakukan hari ini.

Sehyun menghela nafas lega begitu ia menemukan ibunya di tengah kerumunan siswa. Ibunya tampak sedikit terkejut melihat kedatangan Sehyun. Dengan ragu ia membungkukkan badan.

“Annyeong haseyo.”

***

“Jadi, apakah Seungyeon ssi mengingat sesuatu?” tanya Sehyun sekali lagi.

Seungyeon menggeleng pelan. “Maaf aku tidak bisa membantu. Tapi.. apakah pria itu ada hubungannya denganku?”

“Mm.. yah, mungkin sedikit berhubungan.” Ujar Sehyun sambil tersenyum kecut. Astaga, bagaimana mungkin ibunya tidak berhubugan? Padahal ia sendiri yang menyuruhnya datang kesini untuk menemui pria itu.

Sekarang mereka berdua berada di sebuah kafe. Sehyun sengaja mengajaknya kesini untuk mengorek informasi lebih dalam dari ibunya.

“Mm.. kalau boleh tahu, kenapa Seungyeon ssi pindah ke Yongin?”

Seungyeon tersenyum. “Dulu sebenarnya karena masalah pekerjaan orang tua. Tapi begitu pindah kesini, aku berniat untuk mendaftar di sekolah farmasi. Pada dasarnya, aku memang menyukai pelajaran kimia.” Ujarnya panjang lebar.

Sehyun mengangguk-angguk mengerti. Sekarang ia tahu bahwa pekerjaan ibunya sekarang memang sudah direncanakan sedari dulu.

Sehyun kemudian mengambil sesuatu dari tasnya. “Sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan,” Ia menyodorkan sebuah foto yang berbeda dengan sebelumnya. “Ini.. aku temukan di rumah seseorang yang aku kenal kemarin.”

Seungyeon menerima foto tersebut. Ia memperhatikannya dengan seksama, kemudian seulas senyum tersungging di bibirnya. “Ini foto yang diambil oleh Sunggyu ssi. Kau mengenalnya?”

Alis Sehyun terangkat. “Sunggyu?”

“Iya, Kim Sunggyu ssi. Aku mengenalnya dari teman. Dia memang berbakat di fotografi.” Ujar Seungyeon sambil terus menatap fotonya.

Sehyun merasa ada yang ganjil sekarang. Jadi, nama pemuda yang ia temui kemarin adalah Kim Sunggyu.

Tiba-tiba ia teringat kembali dengan e-mail yang sempat ia kirimkan sebelum ia pergi dulu. Nama pemilik e-mail tersebut adalah.. Kim Sunggyu? Berarti, pemuda yang ia temui kemarin…

***

“Ah, hujan..” Sehyun menggumam sambil mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Ia sedang memikirkan banyak hal, dan entah kenapa, hujan ini seperti mewakili perasaannya sekarang.

Tak lama kemudian, bus pun berhenti di halte tujuannya. Mata Sehyun yang tadinya sendu pun seketika membulat melihat seorang pria yang sedang duduk di halte, sembari memegang payung di tangan kanannya. Senyum Sehyun mengembang. Dengan segera ia turun dari bus dan menghampiri pria tersebut.

“Hoya ssi!” seru Sehyun, mengagetkan Hoya yang sedang tenggelam dalam lamunannya. “Apa yang kau lakukan disini?”

“A-aku..” Seketika Hoya berdiri dan mengembangkan payungnya. Ia tampak sedikit kaku. “Ayo pulang.”

Melihat Hoya yang bersikap aneh begitu, Sehyun menjadi kikuk pula. Mereka berdua lalu berjalan bersama di bawah satu payung.

“Jam segini Sungjong belum pulang. Setelah ini aku akan mampir ke sekolahku dulu. Kau mau ikut?” tawar Hoya.

“Mm.” Jawab Sehyun sambil mengangguk.

“Baiklah kalau begitu,” Seulas senyum tampak di sudut bibir Hoya. Ini pertama kali Sehyun melihat pria itu tersenyum. Entah kenapa wajahnya terasa panas. Refleks ia memalingkan muka ke arah lain untuk menahan rasa malunya itu.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di sebuah gedung yang cukup besar. Mata Sehyun terbelalak begitu melihat tulisan yang terpajang di atas gedung.

“Eh? Kau sekolah di Woollim??” tanya Sehyun, diikuti anggukan oleh Hoya.

“Iya. Memang kenapa?”

“Aku juga baru saja diterima di sekolah ini. Wah.. daebak, itu berarti kau adalah seniorku tiga puluh tujuh tahun.” Ujarnya sembari melihat-lihat keadaan gedung yang tampak kuno itu. Sehyun tidak tahu kalau sekolahnya berumur setua ini.

Hoya menyilangkan kedua tangan. “Ku harap kau belajar dengan sungguh-sungguh, hoobae.” Katanya tegas, berlagak seperti seorang senior.

Sehyun pun segera membungkukkan badannya sembilan puluh derajat. “Baik, sunbaenim.”

Mereka berdua berpandangan, kemudian tertawa pada lelucon mereka sendiri. Tidak disangka-sangka akhirnya mereka berdua dapat akrab satu sama lain.

Mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan yang mungkin tepat jika disebut ruang musik. Di sana terdapat alat-alat musik lengkap, mulai dari piano, gitar, biola, hingga cello.

Hoya berjalan menuju sebuah tas yang tergeletak di pojok ruangan. Sepertinya itu adalah tas miliknya yang tak sengaja tertinggal beberapa hari yang lalu.

Sementara Hoya sedang sibuk mencari barangnya, senyum Sehyun mengembang. Ia memang sangat menyukai musik. Dengan gembira ia berjalan ke arah piano, lalu duduk di hadapannya. Ia menekan salah satu tuts piano, lalu tersenyum sendiri. Tanpa aba-aba, ia pun mulai memainkan jemarinya di atas tuts piano. Entah lagu apa yang ia mainkan, tapi yang jelas nada-nada tersebut terdengar menyenangkan.

“Kau bisa main piano?” tanya Hoya, begitu Sehyun selesai memainkan lagunya.

“Yah, lumayan.” Sehyun tersenyum ringan. “Haha.. hanya ini yang bisa aku banggakan.” Ujarnya, merendah.

Hoya mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku. Ia memberikannya pada Sehyun. “Sebenarnya aku sedang menulis lagu. Tapi belum kuberi judul. Tidak ada inspirasi.”

Sehyun menerimanya dengan senang hati. Matanya membulat kagum begitu melihat not balok berjejeran yang merupakan hasil tulisan tangan Hoya sendiri. Berkali-kali ia mengatakan ‘wah’ dan ‘daebak’.

“Hoya ssi.” panggil Sehyun.

“Apa?”

Sehyun mengembalikan kertas tadi pada Hoya. “Nyanyikan.”

“Hah?” Hoya tersentak mendengar permintaan Sehyun. “Kau mau bayar berapa?”

Sehyun mendorong bahunya kesal. “Ayolah, Hoya sunbaenim.”

Hoya tertawa walau sebenarnya ia tampak sedikit ragu. “Baiklah.”

Hoya berdehem sekali lalu mulai bernyanyi. Suara lembut Hoya perlahan mulai terdengar. Mata Sehyun terbelalak tak percaya. Ia tidak pernah menyangka kalau Hoya punya suara seindah itu. Ketika Hoya selesai bernyanyi, ia bertepuk tangan.

“Lagi.” Kata Sehyun masih terus bertepuk tangan.

Hoya menarik nafas. “Kau pikir ini konser?” Tepisnya sembari membereskan barang-barangnya. “Aku capek. Ayo pulang sebelum Sungjong marah-marah.”

***

“Aku pulang..”

Sungjong baru saja tiba di rumah dari sekolahnya. Ia sedikit terkejut mendapati Hoya dan Sehyun yang sedang bercanda satu sama lain. Apalagi ditambah tawa yang menghiasi rumahnya saat ini, berbeda dengan suasana beberapa hari yang lalu.

“Ehem! Ada orang tidak sih di rumah? Sepertinya tidak ada yang sadar dengan kehadiranku.” Ujar Sungjong sambil pura-pura kesal.

“Aniya, Sungjongie.” Sehyun menarik lengan Sungjong untuk bergabung bersamanya dan Hoya.

Sungjong pun duduk di sebelah Sehyun. Wajahnya yang kesal berubah senang begitu melihat makanan yang cukup banyak di meja. “Ngomong-ngomong sejak kapan hyung dan nuna jadi akrab begini?”

Sehyun dan Hoya saling bertukar pandang. Hoya memiringkan kepalanya, lalu mengangkat bahu.

“Aigoo, terserah kalian berdua.” Ujar Sungjong sembari beranjak dari tempat duduknya. “Aku ganti baju dulu.”

Sehyun tertawa begitu melihat Sungjong yang menghilang dari pandangannya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Hoya yang sedang menyesap teh hangatnya. Sepertinya Hoya sangat menikmati teh panas di tengah hujan seperti ini.

“Hoya ssi.” Panggil Sehyun, membuat Hoya meletakkan tehnya kembali dan beralih menatap Sehyun.

“Apa?”

“Boleh aku tahu kenapa kalian tinggal disini berdua saja?”

“Itu..” Hoya tampak ragu menjawab pertanyaan tersebut. Ia menghela nafas pelan. “Demi mengejar cita-citaku, aku pindah kesini. Karena Sungjong tidak mau ditinggal sendiri, dia memaksa untuk ikut.”

“Keluargamu bagaimana?” tanya Sehyun lagi, tanpa menyadari kecanggungan Hoya dalam menjawab pertanyaannya.

“Ayahku punya usaha keramik. Sebenarnya ia ingin aku menjadi penerusnya.”

Sehyun mengangguk-angguk mengerti. “Begitukah? Berarti ia mendukungmu? Kau punya ayah yang baik.” Katanya sambil tersenyum.

“Mm.” Hoya mengangguk pelan mendengarnya. “Bagaimana dengan keluargamu?”

“Aku?” Sehyun sedikit bingung ketika Hoya berganti menanyakan keluarganya. Matanya beralih ke jemarinya yang sedang memegangi cangkir teh yang terletak di hadapannya.

Hoya yang sadar dengan sikap aneh Sehyun tersebut mengerutkan alisnya heran. “Kenapa?”

Sekarang giliran Sehyun menggaruk pipinya yang tidak gatal. “Mm.. Sebenarnya aku tidak ingat apa-apa tentang ayahku.” Ujarnya sambil tersenyum kecut. “Sejak awal memang hanya ada aku dan ibuku.” Sehyun tersenyum ringan. “Tapi karena ibu selalu ada di sampingku, aku jadi terbiasa tanpa punya ayah. Yah.. walau memang pernah beberapa kali aku sedih memikirkannya.” Sehyun memandang langit-langit rumah tersebut. “Kadang aku berpikir bagaimana rasanya punya ayah.”

Hoya menatap gadis di hadapannya itu iba. Walau Sehyun sekarang tersenyum, ia yakin dari dalam hati Sehyun pasti ingin merasakan bagaimana rasanya punya ayah. Tapi apa yang bisa dilakukan Hoya, ia bukan orang yang pandai menghibur. Mau berkata sesuatu tapi ia justru takut kalau-kalau ia mengatakan hal yang salah.

Sehyun menyadari keheningan yang menyelimuti mereka berdua sekarang ini. Ia mengerti kalau Hoya sedang bingung harus bicara apa. “Maaf aku jadi mengacaukan suasana.”

Hoya terkesiap lalu menggeleng pelan. “Tidak. Bukan salahmu.” Ujarnya sembari menyesap kembali tehnya. Alisnya terangkat begitu ia ingat tentang suatu hal. “Ah, iya. Sebenarnya besok lusa aku akan ada tes semester. Rencananya aku akan menyanyikan lagu buatanku tadi. Bagaimana menurutmu?”

Mata Sehyun membulat. “Sungguh? Aku ingin lihat!”

Hoya tersenyum melihat Sehyun yang antusias begitu. “Datang saja.” Ujarnya, disambut seruan gembira oleh Sehyun.

Tiba-tiba Sungjong yang baru saja berganti pakaian berlari menuju mereka berdua. “Nuna, nuna! Aku punya ide!” Sungjong duduk di sebelah Sehyun. Ia membuka koran yang ia pegang, lalu membalik-balik halamannya. “Ini!” serunya begitu menemukan kolom berita yang ia cari.

“Pencarian orang hilang..” Sehyun membaca judul kolom tersebut. “Maksudnya?”

Sungjong berdehem. “Begini.. Bagaimana jika orang yang bernama Nam Woohyun itu juga datang dari masa depan?”

Sehyun mengerutkan alisnya tidak percaya. “Mustahil, mana mungkin dia datang dari masa depan.”

Hoya menimpali dengan nada datar. “Kau tidak berhak mengatakan itu.” Sehyun menatapnya dengan tajam.

“Sudah, sudah..” Sungjong menepuk pundak Sehyun agar ia tenang. “Jadi berarti kita harus melakukan sesuatu yang masih tetap tertinggal di masa depan. Nah, misal namanya tertulis di koran ini, orang dari masa depan pun juga tetap bisa membacanya.” Jelas Sungjong kemudian.

Sehyun mengangguk-angguk mengerti. Tapi kemudian ia menyilangkan kedua tangannya. “Tidak. Ide ini terlalu mustahil.”

“Wae?”

Sehyun menghela nafas panjang. “Coba pikir. Mana ada orang yang mau baca koran yang umurnya sudah berpuluh-puluhan tahun?”

***

“Ayolah, pak. Saya tidak bisa pulang kalau dia belum menemukan orang ini.” Pinta Sehyun pada seorang petugas penerbitan koran. Walaupun awalnya ia menolak ide tersebut, pada akhirnya ia lakukan juga. Setidaknya ada yang bisa ia lakukan daripada berdiam diri.

Namun petugas itu tetap saja menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nak, sekarang ini untuk menulis sepuluh karakter biayanya seratus ribu won!” tolak bapak petugas itu dengan tegas.

Sehyun menatap nanar uang koin yang berjejeran di meja. Itu adalah kumpulan uang koin seratus won yang sengaja ia bawa untuk berjaga-jaga. Tidak mungkin ia bisa menggunakan uang kertas tahun 2011 di jaman ini kan?

“Tapi, pak. Sekali ini, tolong bantu saya.” Sehyun bersikeras untuk meyakinkan petugas tersebut.

“Uangmu cuma delapan puluh ribu, tidak bisa.”

“Tapi, pak-”

“Ada apa ribut-ribut begini?” tanya seorang wanita paruh baya yang menghampiri mereka.

Bapak petugas itu terkejut. Dengan sigap ia berdiri dan membungkukkan badannya pada ibu tersebut. “Annyeong haseyo, direktur.” Katanya dengan nada sopan. Ia kemudian menceritakan tentang apa yang sedang terjadi.

Ibu itu mengangguk mengerti. “Oh, begitu. Maaf anak-anak, kalau ini memang tidak bisa. Lebih baik kalian pulang saja.”

“Tapi, bu-” Sehyun mulai mengeluarkan keringat dingin. “Sungjong ah, lakukan sesuatu.” Bisiknya pada Sungjong, yang kebetulan ikut dengannya. Ini adalah hari minggu, dan Sungjong memutuskan untuk pergi bersama Hoya dan Sehyun kemari, karena ia bangga dengan idenya.

Sungjong pun beranjak dari tempat duduknya dan beralih ke sebelah ibu tadi. Ia kemudian memijit pundaknya. “Ayolah, nuna~ Boleh kan, ya?” katanya sambil memajukan bibirnya dan menebarkan aegyo di sana-sini.

Hoya, Sehyun, dan bapak petugas itu terperanjat kaget. Apa yang Sungjong bilang? Nuna??

Ibu direktur itu diam. Wajahnya mulai memerah diperlakukan Sungjong seperti itu. Ia berdehem dan membenarkan kacamatanya, salah tingkah. “Ya sudah, boleh.”

Mereka bertiga membulatkan matanya. “Jinjja?? Wah, kamsahamnida!” ujar Sungjong dan Sehyun berbarengan. Sedangkan Hoya hanya tersenyum ringan.

Bapak petugas tadi melirik direkturnya sambil menggumam tidak jelas. Sepertinya ia kesal dengan perilaku atasannya itu. Bisa-bisanya beliau dikalahkan oleh aegyo. Dasar, wanita jaman sekarang..

(To be continued..)

Annyeong readers~ Maaf chap kali ini terlalu panjang, hehehe. Ngebut nih, biar ceritanya cepet selesai ^^ Jangan lupa komen yah 😀

***

(Next chapter)

“Kau suka Hoya?”

“Ah, Seungyeon ssi.”

“Jadi, kau memang mencintainya..”

“Di masa depan nanti mungkinkah kita masih bisa berjalan bersama di tempat ini?”

“Dia tidak mungkin berkata seperti itu.”

“Aku tidak pernah tahu kalau Sunggyu hyung dan ibumu..”

“Percayalah padaku,”

“Dan nantinya, aku hanyalah sebagian kecil dari masa lalumu, ya kan?”

“Pertanyaan yang aneh lagi,”

***