(Prolog) (Part 1) (Part 2) (Part 3) (Part 4) (Part 5) (Part 6)

Annyeong !

Akhirnya UAS ku selesai dengan selamat. Nilaiku? Entahlah… semoga ikutan selamat. Ntar kalo IP ku bagus, aku share deh. Kalo jelek? Ya diseimpen sendiri aja. Malu ciiingg! ^/////^
hha… 😀

Sekarang semua sudah selesai, dan aku memasuki masa-masa liburan. Yaaa walaupun nggak libur-libur amat sih. Masih harus ngurusin OSPEK mahasiswa baru nih. Yang keterima di Universitas Brawijaya Malang, selamat bertemu denganku nanti!
muahahahaa… *tawa setan*

Karena sekarang waktu lenggangku kosong, jadi aku akan berusaha lebih sering posting FF. Jadii… bersiaplah untuk postingan2ku selanjutnya. Wkakakakak.

Sudah ahh curcolnya. Ntar ditimpuk sama yang udah kangen FF ini. Hahaha…

Happy reading ~~!

____________________________________________________________

 

Title : Great Confession (Part.7)

Cast : Dong Young Bae (Taeyang Big Bang) , Park Sandara (Sandara Park 2NE1), Gong Minji (Minzy 2NE1)

Genre : Romantic

Disclaimer :

ADIEZ-CHAN ©ALL RIGHT RESERVED

 ALL PARTS OF THIS STORY IS MINE ! NO OTHER AUTHORS ! PLEASE DON’T COPY AND RE-POSTING WITHOUT CONFIRM ME!
NO PLAGIARISM!

 

 

Maybe there are no right moments, right guys, right answers. Maybe sometimes you just have to say what’s in your heart…

***

 

Normal POV

“Youngbae-ah!”

Youngbae berbalik dan menemukan Dara sedang melongok ke arahnya dari balik pintu yang setengah terbuka. Kedua sudut bibirnya kontan tertarik ke atas dan membentuk sebuah garis bulan sabit di kedua matanya. “Hey, noona…”

Tawa Dara mengembang ketika melihat senyum tipis dari lelaki yang dicintainya itu. Dengan langkah girang dia memasuki kamar rawat inap Youngbae. Kedua manik matanya memperhatikan gerak-gerik Youngbae yang mondar-mandir antara lemari dan ranjangnya. Sudah lama sekali wanita ini tidak melihatnya dengan memakai baju bebas seperti ini, membuatnya sedikit… berdebar.

Lelaki itu tidak lagi mengenakan baju rumah sakit. Tubuh bidangnya itu kini hanya berlapis kaos yang tertutup jaket bertudung dan celana jeans. Bahkan kakinya yang biasanya tak beralaskan apapun pun sekarang sudah tertutup oleh sneakers kesayangannya. Dia berulang kali berjalan menuju lemari, mengambil beberapa barangnya dan memasukkannya ke dalam tas jinjing di atas ranjangnya.

“Sudah berkemas? Tidak sabaran sekali kamu, Bae-ah… Mentang-mentang sudah diperbolehkan pulang.Kenapa tidak menungguku? Aku kan bisa membereskannya untukmu…” Dara mulai berceloteh ketika akhirnya wanita itu telah berdiri di samping Youngbae.

“Tidak usah noona. Aku bisa melakukannya sendiri. Noona duduk saja di ranjang.” Seulas senyum kembali muncul dari bibir Youngbae seraya tangannya mengusap pelan helaian rambut lurus Dara.

Wanita itu spontan terdiam, sedikit terkejut dengan perlakuan Youngbae. Tanpa sadar dia mengusap rambutnya sendiri, tepat di tempat Youngbae membelainya. “Ah, nee…” Dara berucap pelan dan naik ke atas ranjang sambil terus memperhatikan Youngbae dengan tatapan heran, sekaligus bingung.

Apakah dia sedang bermimpi? Mengapa akhir-akhir ini Youngbae selalu bersikap lembut terhadapnya? Apakah ada yang salah dengan lelaki itu? Apakah ada sesuatu terjadi pada Youngbae yang dia tidak tahu?

Apapun itu, hati wanita itu kini penuh dengan kebahagiaan…

Dara masih terpaku menatap Youngbae. Bola matanya bergerak menelusuri tiap tekstur wajah lelaki itu. Mata kecilnya, hidungnya, bibirnya. Tak ayal Dara hanya bisa tersenyum menyadari keindahan yang tersaji di hadapannya. Wanita itu… dia tidak perlu mengungkapkan lagi perasaannya yang membuncah kian besar terhadap lelaki itu, kan?

Sambil terus memandang wajah Youngbae, pikirannya kini telah melayang entah menembus batas waktu…

……

 

“Youngbae-ah!” Dara berjalan mendekati ranjang Youngbae sambil menebar senyum.

Youngbae menurunkan buku yang sejak tadi dibacanya dan menatap Dara dengan tatapan malas. “Ke sini lagi, noona? Tidak bosan?”

“Tidak mungkin aku bosan menjenguk dirimu, Bae-ah…”

Youngbae menghela nafas menyerah. Iya, sepertinya memang tidak mungkin wanita itu menyerah. “Terserah, noona deh yaa…”

Dara menyeringai senang. “Youngbae-ah, ini kubawakan makan siang. Aku tahu kamu sudah makan makanan dari rumah sakit, jadi, aku membawakan makan siang yang ringan-ringan saja.” Dara mengacungkan kotak makan yang sudah dia siapkan sejak subuh menjelang.

Youngbae menatap kotak makan itu dengan tanpa minat. Lalu kedua matanya berputar menatap Dara. “Noona, mau sampai kapan membawa makan siang seperti ini untukku?”

“Memang kenapa? Kamu tidak suka aku memasak untukmu, ya?”

“Iya.”

Dara menarik nafas kesal dan menahannya di rongga mulutnya, membuat kedua pipinya mengembung. “Jahat sekali kami ini, Bae-ah!”

Youngbae tertawa berderai dan mengambil kotak makannya. “Hahaha… Nee nee. Ini aku makan kok, noona…”

Dara akhirnya tertawa kecil dan memperlihatkan gigi putihnya.

Jantungnya? Jangan ditanya. Sudah berdebar kencang saking bahagianya. Matanya menatap senang pada Youngbae yang memakan bekalnya lahap.

……

 

Tiba-tiba Youngbae bangkit dan berusaha menuruni ranjangnya. Kontan hal itu sukses membuat Dara yang sejak tadi duduk di sampingnya kebingungan. “Youngbae-ah, mau kemana?”

“Kamar mandi,” Youngbae menjawab cuek sambil terus menyeret langkahnya menuju menjauhi Dara.

“Mau aku temani?” Dara seketika berdiri dari tempatnya duduk dan mengikuti setiap langkah Youngbae.

Lelaki itu berbalik dan menatap Dara tajam.“Apa maksudmu?”

“Yaahh… mau aku temani ke kamar mandi? Mungkin saja kamu butuh bantuan di dalam sana…”

“Lalu? Kamu mau melihatku buang air kecil, begitu?”

“rrrrr…”

“TI-DAK-PER-LU-NOO-NA.” Mata Youngbae menyipit dan menatap kian tajam ke arah Dara dan menekankan setiap penggalan kata yang dia ucapkan. Setelah itu, dia meneruskan usahanya ke kamar mandi.

Dara hanya bisa mengulum senyum dan menyadari kebodohannya.

……

 

“Noona, aku tahu lho…”

Dara yang mengupas apel untuk Youngbae langsung menghentikan gerakannya dan menatap Youngbae bingung.“Tahu apa?”

“Aku tahu, waktu noona bilang suka padaku, tanganmu gemetaran.”Youngbae menyeringai kecil.

“Eh? Jincha?!” Garis-garis merah dengan cepat menjalar ke kedua pipi Dara dan membuatnya memanas.

“Aku lihat, kok…” Tangan Youngbae terangkat dan membelai lembut surai-surai rambut Dara dan mengangkat kedua sudut bibirnya.

Dara hanya bisa terperangah dengan apa yang dilakukan Youngbae dan menyentuh helaian rambutnya. Jantungnya seketika berdetum kencang hingga rasanya ingin menggebrak dadanya.

Dia takut…

Waktu itu sebetulnya dia sangat ketakutan…

Dara hanya terdiam tanpa kata sambil menatap Youngbae dengan tatapan kagum. Lelaki itu tahu. Lelaki itu apa yang dia rasakan dulu, maupun sekarang. Youngbae yang dia sayangi… dia ingin lebih dekat dengannya…

Lebih dekat lagi dengannya…

……

 

“Kenapa menatapku seperti itu? ”Youngbae melirik Dara dengan tatapan jengah. Apa yang sedang dipikirkan wanita itu hingga menatap Youngbae dengan pandangan seaneh itu?

“Ah? Eh? Ani. Tidak ada apa-apa…” Dara segera tersadar dan mengumpulkan kembali pikirannya ke dalam otaknya sekarang.

“Orang aneh.”

“Biarin.”

“Aneh.”

“Biarlah, Bae-ah…” Dara menjulurkan lidahnya tak peduli. Sesaat kemudian, sebuah senyuman tipis kembali menghiasi wajahnya.

Seandainya saat-saat membahagiakan seperti ini bisa berlangsung selamanya…

 

“Songsaengnim…”

***

 

Dara POV

“Songsaengnim…”

Eh? Seperti pernah mendengar suara itu? Jangan-jangan…

Aku dan Youngbae spotan berbalik ke arah pintu dan melihat ke arah suara. Jantungku seketika mencelos melihat orang yang kini berdiri di samping pintu.

Rambut sebahu itu…

Wajah itu…

Suara ceria itu…

Aku mengenalnya di luar kepala. Aku membenci dengan fakta bahwa aku terlalu mengenalnya. Sayangnya, seiring dengan ingatanku tentang dia yang semakin lama semakin dalam tertanam dalam otakku, semakin dalam pula rasa benciku tentangnya.

Kenapa dia datang lagi?

“Bagaimana keadaanmu, saengnim?” Sosok itu mendekat ke arah kami dengan wajahnya yang ceria.

Tidak. Jangan dia…

Boleh siapa saja, asal jangan dia… Aku mohon…

“Jeongmal mianhaeyo, baru bisa menjengukmu sekarang.Aku baru pulang dari lomba di Jerman. Saengnim tahu itu, kan?”

Sudut mataku mencoba melirik Youngbae. Lelaki itu terpaku menatap sosok di depannya. Tanpa kata. Seolah kosakata yang selama ini dimilikinya hilang menguap entah ke mana.

“Minji? Aku sudah cukup sehat untuk pulang. Tenang saja…” balasnya, setenang mungkin. Aku bisa merasakan nafasnya yang tercekat. Antara keterkejutan atas kedatangan murid kesayangannya itu. Atau lebih tepatnya, yeoja yang dicintainya.

Aku benci melihat pemandangan seperti ini. Melihat wajahnya diantara rindu yang perlahan meluruh, sakit yang kian tertahan, dan cinta yang tiba-tiba meluap. Siapa saja, keluarkan aku dari keadaan seperti ini…

“Saengnim, aku mau bicara sebentar. Ada waktu, kan?” wajah Minji berubah serius.

Jantungku kian cepat berdetum, membuat aku bisa merasakan aliran darah yang keluar dari organ tersebut. Aku kontan mengalihkan pandanganku ke arah Youngbae, melihat reaksinya. Kamu tidak akan pergi kan Youngbae-ah…?

Youngbae terdiam. Hingga senyap menyelimuti ruangan itu sejenak. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba menutupi ketakutanku sendiri.

Youngbae? Kamu tidak akan pergi, kan?

“Baiklah.” Dia beralih menatapku dan melanjutkan, “Noona, bisakah kamu keluar sebentar?”

DEG!

“Bae-ah!!” Spontan aku menyergap lengannya erat. Ketakutanku seketika menyelimutiku hingga aku berani melakukannya.

Dia terkejut menatapku. “Eh? Noona?”

Apa lagi yang harus dibicarakan dengannya, Youngbae-ah? Bukankah dia sudah memiliki namja-chingu?!

Aku menatapnya lekat-lekat hingga aku bisa melihat pantulan wajahku yang sudah digenangi air mataku sendiri. Tanganku sendiri telah mencengkeram lengannya kian kuat.

“Aku tahu aku tidak berhak berkata seperti ini, tapi…”

Minji sudah memiliki namja-chingu. Sedangkan Youngbae masih mencintainya…

Kalau Youngbae bicara bersamanya…

Aku takut…

Youngbae-ah pasti…

“NANTI KAMU TIDAK AKAN KEMBALI!!”

Air mata yang sejak tadi sudah menggumpal di kelopak bawah mataku tak ayal jatuh juga menuju pipi dan daguku. Tapi aku tak peduli. Asalkan Youngbae tidak pergi bersamanya.

Aku mohon, Bae-ah…

Youngbae menatapku dingin. Sangat dingin hingga aku tak bisa menemukan secercah kehangatan yang biasanya terpancar diantara kedua bola matanya. “Mianhaeyo, noona.Bisakah kamu keluar sebentar?”

Aku terhenyak. Benarkah kamu memilih itu, Bae-ah?

Mataku menatapnya dengan luka yang sangat. Aku ingin menahannya sekuat mungkin. Namun kata-kata itu, tatapan mata itu, sudah lebih dari sekedar menunjukkan bahwa aku tak punya pilihan lain.

“Baiklah…”

Aku segera meninggalkan ruangan itu dengan lemas dan air mata yang masih terus saja berderai.

***

 

Langkahku terhenti di salah satu sudut taman rumah sakit yang lenggang. Entah kenapa sore itu tidak begitu banyak orang berlalu lalang di taman itu, sehingga aku tidak perlu bersusah payah derai air mata yang seolah tak mau berhenti mengalir ke pipiku itu.

“Heeehhh…”

Aku menghela nafas panjang dan menatap langit yang dipenuhi gumpalan kapas putih dengan nanar. Rasanya air mataku tak akan bisa berhenti jika aku terus memikirkan Youngbae-ah yang saat ini bersama Minji.

Aku pikir, aku akan menyesal bila tidak mengatakannya…

Namun walau aku mengatakannya sekalipun, ternyata aku tetap menyesal…

Kalau Youngbae bahagia, mungkin lebih baik begitu. Asalkan orang yang kita sayangi berbahagia, kita pasti ikut senang…

Begitu kan, Youngbae-ah?

Tanganku terangkat untuk mengusap air mataku perlahan hingga tak ada lagi tetesan air yang tertinggal di pipi dan daguku.

Aku harus kuat…

Park Sandara, it’s okay to be stupid, to be hurt and cry. But you must to be wise, strong and smile. Tersenyumlah… Park Sandara…

Kamu pasti bisa melewati semua ini…

Aku beranjak dari kursi taman tempatku duduk dan kembali menuju koridor rumah sakit. Aku harus menghadapi Youngbae dengan senyum terbaikku… atau mungkin… terakhirku.

Aku tak pernah membayangkan hal ini… tetapi mungkin aku harus melupakannya…

Walau sangat berat untuk menghapus bayangan seseorang yang memberimu banyak kenangan untuk diingat…

Aku masih menyusuri koridor panjang lantai dasar rumah sakit ketika akhirnya aku beradu tatap dengannya. Dengan gadis itu. Dengan gadis yang memberiku banyak ketakutan tanpa dia sadari. Rasanya aku selalu kehilangan kata-kata setiap kali lagi aku menelisik setiap sudut tubuhnya. Mata tipisnya, rambut pendeknya, hidung dan bibirnya. Aku harus bagaimana? Dengan wajah seperti apa harus menatapnya?

“Sandara-ssi…”

***

 

Normal POV

Minji menemukan wanita itu melangkah menuju dirinya di koridor itu dengan mata sembab dan memerah bekas air mata yang dipaksakan untuk berhenti. Wanita itu memandangnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan olehnya. Apakah itu karena dirinya? Apakah dirinyalah yang membuatnya seperti itu?

“Sandara-ssi…”

Dia memutuskan untuk memanggilnya lebih dulu, atau dia tidak akan pernah bisa membicarakan ini lagi di kemudian hari. Mungkin saja kan… melihat wanita ini selalu menatapnya dengan benci…

Spontan gerakan dara terhenti. Jantungnya untuk ke sekian kali hari ini, berdetum begitu cepat seakan ingin keluar dari tempatnya berada. Mengapa gadis ini memanggilnya? Apakah untuk mengatakan  bahwa dia tidak perlu lagi merawat Youngbae? Apakah untuk mengatakan bahwa mulai hari ini dan seterusnya, aku harus pergi dari hidup seorang Youngbae? Ataukah… gadis ingin mengatakan… bahwa mulai hari ini Youngbae telah menjadi miliknya?

“Aku mengujinya…”

Dara seketika tersentak. Dia langsung mencoba memfokuskan matanya dan menatap Minji begitu lekat. Mencoba menyingkap setiap pancaran yang keluar dari kedua kornea mata itu dan mencari sebuah jawaban. Apa maksudnya dengan mengujinya?

Hening. Semua pertanyaan itu hanya tersimpan rapi dalam hati Dara. Selebihnya, dia bahkan tak mampu untuk sekedar membuka mulutnya.

“Aku selalu bingung untuk menghadapinya.Aku tahu dia mencintaiku. Karena itu aku sengaja menciptakan dinding tak terlihat yang membatasi kami bernama guru dan murid. Aku selalu berusaha untuk berjalan mundur menjauhinya, sekaligus sedikit mendekat untuk membuatnya tidak menyadarinya…”

……

 

“Songsaengnim…” Minji menaiki ranjang Youngbae dan memulai pembicaraan. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya yang ingin dia pastikan sebelum memulai pembicaraan utama yang membuatnya datan kemari.

“Huh? Wae, Minji?”

“Yang baru saja keluar itu… yeoja-chingu mu? Siapa namanya? Wajahnya terlihat familiar…” Minji menunjuk ke arah pintu dan beralih menatap Youngbae sekali lagi.

Youngbae tersenyum simpul. “Ani. Dia bukan yeoja-chingu ku, Minji. Namannya Park Sandara.”

“Park Sandara? Nama yang aneh…” Minji kini menatap kedua bola mata Youngbae jauh lebih dalam, mencoba menemukan apa yang dia cari. “Benarkah bukan yeoja-chingu mu, saengnim?”

Tatapannya membuat Youngbae jengah. Tak tahukah gadis itu bahwa tatapannya saja sudah mampu meluruhkan jantungnya hingga menjadi serpihan yang tak kasat mata?

“Bukan, Minji…”

“Tapi kamu mencintainya kan?”

Deg! Sebilah pisau seolah tertancap tepat di jantung Youngbae.Benarkah?

“Aku tidak…”

Minji mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, sebelum akhirnya kedua mata tipisnya kembali ke arah lelaki itu. “Sepertinya aku tidak perlu lagi khawatir tentangmu, Saengnim…”

“Huh? Maksudmu?”

“Dia mencintaimu, saengnim… dan saengnim…”Minji terhenti sejenak sebelum melanjutkan, “pastikan perasaanmu, saengnim. Tak baik membuat seorang yeoja meneteskan air mata di hadapanmu…”

Youngbae terdiam.Terhenyak.Dia tahu begitu banyak yang dilakukan Dara untuknya. Namun hatinya…? Kini siapa sebenarnya yang ada di hatinya?

“Saengnim, Mungkin sebenarnya tidak ada waktu yang tepat, orang yang tepat, jawaban yang tepat. Mungkin terkadang… kamu hanya harus mengatakan apa yang ada di hatimu…”

……

 

“… tapi sepertinya saat ini semua hal itu tidak perlu lagi…” Minji mengulaskan satu senyum simpul pada Dara yang kini masih terpaku. “I know you are in love when I see your eyes fill with tears simply because you thought about loosing him…”

Dara masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Benarkah apa yang baru saja terdengar oleh koklea telinganya. Apakah dia tidak salah mencerna tiap katanya?

“Tolong jaga saengnim ku, ya…”

Senyum Sandara seketika mengembang, seiring dengan kebahagiaannya yang membuncah. Kakinya perlahan mulai melangkah meninggalkan Minji yang kini menatap punggungnya. Langkah-langkah kecil itu kian lama berubah menjadi langkah cepat dan panjang. Dia berlari, mengikuti keinginan hatinya sendiri. Dia benar-benar ingin bertemu Youngbae sekarang juga.

Sekarang dia mengerti…

Dia memang sangat ingin membahagiakan orang yang sangat dia sayangi…

Dan yang bisa membahagiakannya hanyalah seorang…

Cklek!

Youngbae berbalik dan menatap Dara. Tatapan mata lembut yang selalu dia rindukan. Inilah wajah yang selalu dia dambakan. Dia harus mengatakannya… sebelum semuanya tertelan ke dalam tenggorokannya dan dia tak bisa mengeluarkannya lagi…

“Youngbae-ah!”

***

 

Youngbae terpaku menatap pintu yang Minji tinggalkan. Rasanya pembicaraannya dengan Minji masih berdenging tanpa henti di dalam kepalanya. Dia berbalik dan membiarkan tangannya bertumpu pada ranjang. Semuanya kini terasa membingungkan baginya.

Terutama karena masalah itu…

……

 

“Saengnim, mungkin sebenarnya tidak ada waktu yang tepat, orang yang tepat, jawaban yang tepat. Mungkin terkadang… kamu hanya harus mengatakan apa yang ada di hatimu…”

Kata-kata itu benar-benar menohoknya. Seolah ada beribu jarum yang menusuk tepat di jantungnya dalam waktu bersamaan. Dan dia tidak mencoba menepisnya. Wanita itu telah perlahan memasuki palung hatinya. Tanpa dia sadari.

“Saengnim, waktu aku di Jerman, aku bertemu Mr. Auclair Switzeeman, konduktor Perancis itu, dan mengatakan bahwa kamu belum menjawab penawarannya.Apa itu benar?”

“Kamu tahu? Aku menyetujuinya. Aku hanya perlu waktu untukmembereskan yang ada di sini.”

“Membereskan? Kamu belum mengatakan pada Sandara-ssi?”

Youngbae terdiam sejenak.

“Belum. Aku tak tahu harus memulai dari apa untuk mengatakannya…”

……

 

Cklek!

Youngbae terkejut sejenak dan segera berbalik. Kedua pasang mata itu langsung beradu. Masing-masing manik matanya seolah menyiratkan apa yang ingin mereka ungkapkan.

“Youngbae-ah!”

Dara memanggilnya terlebih dulu. Youngbae tersentak sejenak, kemudian terdiam, menunggu apa yang ingin dikatakan wanita itu. Mata itu benar-benar menyiratkan sesuatu yag sangat kuat, entah apa itu. Apa yang ingin dia katakan sebenarnya?

Sebelum Youngbae sanggup berpikir, Dara telah melanjutkan, “Saranghae, Bae-ah… Jeongmal saranghae…”

Youngbae terdiam. Wanita itu mengatakannya sekali lagi. Dengan memburu.

A woman loves you. The woman loves you wholeheartedly. She follows you around like a shadow every day. She smiles but is actually crying…

Senandung kecil Chaerin kembali merasuk dalam kepalanya. Lalu, apa yang harus dilakukannya sekarang? Hanya diam? Yakinkah hanya diam? Namun bahkan dia tak tahu harus menjawab apa untuk pernyataan itu.

Dara benar-benar tidak menghiraukan debar jantungnya yang kian memburu, desiran aliran darah yang kian cepat mengalir di setiap organ tubuhnya, maupun keringat dingin yang membasahi kulitnya. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana lelaki itu tahu tentang apa yang dia rasakan.

“Apa kamu juga mencintaiku?”

“Tidak perlu terburu-buru…” Jemari tangannya perlahan bergerak menyentuh buku-buku jari Dara.“Aku pasti akan membalas perasaanmu…”

Air mata Dara seketika menetes ketika jemari mereka mulai bertaut. Ketakutannya meluruh dan menghilang entah ke mana.

Lelaki itu telah membuka hatinya, walau tak sepenuhnya…

 

Ting ting ting ting…~

“Chakkamman, noona.” Youngbae melepaskan genggaman tangannya dan merogoh sakunya. Matanya kemudian melihat nama yang tertera di layar ponsel.

Auclair Switzeeman.

“Hallo?”

“Aahh… Mr. Dong Youngbae. How are you?”

“Fine, sir.”

“I just wanna ask about your choice. How? Can you accept my invitation to study in Paris?”

_______________________________________________

To be continued.

 

Wokeeehh… bagaimana bagaimana?

Semoga semua puas dengan part ini. Amin amiiinn…

Kalo ada kritik, saran, feelnya kurang kerasa, atau apapun deh, atau cuma sekedar Say Hello, please comment me yaa !

Yang udah baca harus komen! Please show your appreciation for my writing. 🙂

No silent readers here, please…

Udah ah basa-basinya.

Gomawoyoooooooooo……. !!!

(_ _)